Laman

Monday 1 August 2016

PERANAN IGGI-MDGs SEBAGAI KENDALI BARAT TERHADAP INDONESIA

PERANAN IGGI-MDGs SEBAGAI KENDALI BARAT TERHADAP INDONESIA

IGGI, berdiri 1967, cita - citanya sudah di gagas sejak 1966. Setelah sukses menggulingkan rezim Soekarno, dengan latar belakang kekhawatiran setelah Soekarno mendeklarasikan Guidev Democracy", demokrasi terpimpin, dan Soekarno berhasilkan mengendalikan politik di MPR.




Ini juga harus dilihat latar belakang sejarahnya, yakni sebagai bentuk kekhawatiran USA dan Inggris terhadap situasi di tanah air saat itu, berdirinya CSIS sebagai telegram yang mencatat setiap peristiwa disetiap jengkal tanah NKRI. Yang perlu disadari adalah dari mana dana Pemerintah Soekarno untuk membangun NKRI?


Tahun 1950s USA mengirim USAID, untuk memberikan bantuan tenaga ahli dan alih teknologi, yang menjadi satu paket bantuan dana pembangunan dari Barat, di bawah komando Inggris. Masih ingat hadis mereka "tidak ada makan siang yang gratis?"


Kondisi ekonomi kian buruk ditambah Sorkarno dibawah "Guide Democracy" , makin menggila dengan gerakan non blok. Soekarni mengibarkan "10 dasa sila bandung" di KAA.


Kekhawatiran barat bukan karena takut kalau kelak Soekarno bakal jadi figure baru sekaligus kekuatan baru di dunia yang lepas dari pengaruh blok Barat maupun blok Timur. Tapi menyangkut masalah ekonomi.


Barat bukan peduli tapi khawatir duit yang sudah digelontorkan bakal sia - sia dan semua bentuk investasi yang sudah ditanam terutama di pertambangan bakal terusik.




Maka langkah yang diambil barat adalah menggulingkan Soekarno. Dan issue nasakom yang dihembuskan Soekarno adalah ide dari intelejen USA, yang pada akhirnya ini menjadi titik awal proses kearah itu diarahkan, menggulingkan dengan memanfaatkan basis kekuatan politik terbesar saat itu.


Setelah sukses melengserkan Soekarno dan menjebloskan Soekarno dalam tahanan rumah virtual melalui koleganya Soeharto. Kemudian sebagai bentuk realisasi imbalan atas dukungannya terhadap Soeharto, didirikan IGGI, berikutnya G8, memberikan bantuan dana pembangunan.


Barat tidak pernah ikut campur persoalan kebijakan politik. dan pembangunan dalam negeri atau dalam negara mana pun. Tapi mereka akan membangun pengaruh politik jika kepentingannya terusik dan atau ada kepentingan secara ekonomi.


Semua gagasan tahapan kerja Pelita adalah advis barat melalui anak bangsa didikan barat. Ini dalam rangka mengamankan kepentingan Barat di Indonesia dibawah kontrol Soeharto. Hampir tiap tahun IGGI memberikan dana bantuan dan hibah, IMF dan World Bank memberikan bantuan pinjaman kapanpun rezim Soeharto butuh.


Hasil dari dana yang bergulir itu tidak berputar secara produktif menetes rembesannya ke semua lapisan, sebaliknya hanya berputar dikalangan militer yang mengendalikan birokrasi dan badan usaha milik negara. Kejadian yang sama seperti di era Orla, namun tak separah di rezim Soekarno, dimana di era Soekarno lapisan masyarakat sangat jomplang.


Kondisi dimana dibelahan sana bergelimpang penyakit dan kekurangan sandang pangan disebelah atas bisa hidup seribu tahun dari duit pembangunan. Ini adalah akar dari instabilitas.


Tahun 90an, krisis melanda dunia, setelah serangan badai USA di Irak. Yang diharapkan barat dari Soeharto tidak terjadi, Bahkan Soeharto mulai seperti Soekarno dalam hubungan internasional, tadinya Soeharto bergaya low profile, berani menentang IGGI, masalah Timor Timur, tahun 1992.


Pada akhir 1990-an, OECD, Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan bikin ide "gagasan pembangunan internasional" dengan tolok ukur upaya donor dana buat menghalau krisis ekonomi.


Kemiskinan oleh gaya hidup corrupt yang diproteksi oleh pengaruh nepotism yang kuat sebagai penyebab utama krisis dan mendorong lahirnya ide itu. Kemudian proposal OECD ditandatangani oleh para pemimpin dari IMF, Bank Dunia, dan PBB, kofi annan.


Konrad Raiser, kepala Dewan Gereja Dunia, sempat protes atas gagasan itu ia menulis Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, menyampaikan kekecewaan pada Annan telah mengesahkan "propaganda uji coba kebijakan lembaga keuangan internasional, yang kebijakannya secara luas justru menjadi akar dari banyak masalah sosial yang paling serius yang dihadapi masyarakat miskin di seluruh dunia.


Pada tahun 1992, seperti merespon Soeharto yang telah menghentikan bantuan dari IGGI, kemudian pertemuan di Den Haag pemimpin G-8 mengambil langkah besar ke depan membuat kebijakan pembatalan - hutang.


Dari juga muncul gagasan USA mau memberikan bantuan di negara asia terutama Asia Tenggara, meski tidak di amini Belanda karena kondisi keuangan negara super power saat itu sedang rapuh diterjang biaya perang Vietnam, Irak vs Iran dan perang Irak. Namun gagasan ini tetap disetujui.


Puncak krisis terjadi 1998 yang merambat sejak 1996. Moment ini diambil oleh Inggris dan USA untuk menggulingkan Soeharto dengan dua arus, pertama masalah pengembalian hutang dan hutang, kedua menggunakan sebagian rakyat Indonesia dengan issue KKN di seluruh negara yang ada WNI.




Kemudian Tahun 1999 pada pertemuan puncak G-8, di Cologne, Jerman, melahirkan kebijakan baru, bahwa negara bisa menerima bantuan hutang dengan syarat bahwa mereka dialokasikan untuk tabungan pendidikan atau kesehatan. Ini membantu reorientasi pemerintah terhadap belanja di sektor sosial setelah bertahun-tahun pemotongan.


Itulah yang sering kita dengar, didengungkan sampai sekarang tentang dana pendidikan dan kesehatan, tujuannnya supaya dapat bantuan dana, bukan murni bagi kecerdasan dan kesehatan bangsanya sendiri. Lahirlah kartu - kartu dana bantuan masyarakat miskin dengan beraneka label.


Pada tahun 2000 UN Millennium Summit merupakan pertemuan terbesar para pemimpin dunia, tekanannya, bahwa setiap kepala negara perlu bekerja sama untuk membantu orang termiskin di dunia.


Akhirnya, dengan semangat yang ditularkan, yaitu "melihat tantangan baru yang dihadapi di abad baru", semua negara anggota PBB menyetujui, Deklarasi Milenium, dengan kerja program target terukur dan terencana, yang melahirkan MDGs.


Yang santer kepermukaan latar belakang didirikannya MDGs adalah tidak ada kerangka kerja umum untuk mempromosikan pembangunan global setiap dana dialirkan. Dan pasca Perang Dingin berakhir, banyak negara kaya memotong anggaran bantuan luar negeri mereka, beralih fokusnya ke dalam, prioritas dalam negeri. Misalkan di Amerika Serikat, anggaran bantuan luar negeri mencapai semua-waktu rendah pada tahun 1997, di 0,09 % dari pendapatan nasional bruto, kecuali bantuan ke Israel tidak berubah bahkan bertambah.


Pada tahun 2001,  disusun dalam delapan target MDGs:


  1. memberantas kemiskinan dan kelaparan
  2. mencapai pendidikan dasar universal;
  3. mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
  4. mengurangi angka kematian anak
  5. meningkatkan kesehatan ibu
  6. memerangi HIV / AIDS, malaria, dan penyakit lainnya
  7. memastikan kelestarian lingkungan
  8. menjalin kemitraan global di antara berbagai negara dan aktor untuk mencapai tujuan pembangunan


Setiap tujuan selanjutnya dipecah menjadi target yang lebih spesifik. Misalnya, gol pertama melibatkan pemotongan setengah "antara 1990 dan 2015, proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya kurang dari $ 1 per hari". Itu target programnya.


MDGs berhasil dimobilisasi oleh setiap pemerintah dan para pemimpin bisnis (cikal bakal lahirnya csr) yang menjadi anggota untuk menyumbangkan puluhan miliar dolar untuk alat yang menyelamatkan jiwa, seperti obat antiretroviral dan kelambu yang modern (to life-saving tools, such as antiretroviral drugs and modern mosquito nets).


Di Indonesia, Bappenas, disibukan untuk memberikan progress program MDGs. Bayangkan semua negara berkembang masuk dalam barisan ini. Jadi ini adalah kontrol desentralisasi barat terhadap provisinya di sepenjuru dunia. Kenapa mereka siap setia melaporkan semua program MDGs?


Ini tentunya ada kaitan dengan dana.


Kesetiaan ini ekivalen dengan ketidakmandirian. Potret dari sebuah negara yang tidak digjaya tidak berdaya membangun negaranya dengan kekuatan sendiri menjadi bangsa yang mandiri. Jadi neoliberal dengan anti neoliberal ya itu - itu juga, Makelar.


Dan pencanangan dari tujuan MDGs akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2015. Pada saat itu awal tahun 2014, terjadi perdebatan apa program selanjutnya setelah program MDGs. Ini ada perdebatan cikal bakal yang melahirkan SDGs.


Dan sering dalam setiap kesempatan pidato SBY saat itu, menyebut sustainable development, good goverment, good goverment. Itu bukan semata keren tapi menunjukkan ketidakmandirian, semua ide mengikuti apa yang digulirkan oleh barat.


Dan pada kesempatan di tahun yang sama, dalam pertemuan tingkat tinggi PBB, yang diketuai oleh Perdana Menteri Inggris David Cameron, Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf, dan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, akan diajukan rekomendasi untuk agenda baru, melahirkan SDGs, Sustaible Development Goals.


Tahun 2015 telah berlalu, tidak ada impact besar terhadap negara berkembang dari semua program MDGs, kecuali hutang semakin bertambah dan kemiskinan tetap stagnan. Inilah pengikat sempurna membikin negara berhutang tunduk terhadap pemberi hutang.


Sementara mimpi mereka ingin membangun negara yang mandiri, sejahtera dan maju. Kenyataan yang mengingkari semangat piagam bangsa dan pembukaan UUD'45. Dan mimpinya adalah mimpi para bandit kemanusiaan.


Dan cerita seru abu al shabaab adalah boneka usa menjaga kepentingan uranium dan hidro karbon di somalia selain area transit beta yahudi.



No comments:

Post a Comment