Konflik berdarah kembali meletus di Rakhine, dikabarkan wanita dan anak rohingya etnis tamil dibantai oleh pasukan pemerintah Myanmar, 10000 orang mengungsi ke perbatasan Bangla. Sementara pihak Pemerintah Myanmar mengklaim, bahwa tindakannya itu sebagai operasi balasan akibat serangan kelompok Arsa Rohingya.
Konflik berdarah di Rohingya ini sudah terjadi sejak 1978, puncak pembantaiannya setelah tahun 1982. Dan terus berlanjut hingga sekarang. Dan Amerika Serikat telah memberikan sanksi yang kemudian dicabut sanksinya pada tahun 2012. Aung San Suu Kyi menerima Penghargaan Nobel saat itu, ia mendapat simpatik masyarakat dunia setelah memberikan pernyataan keprihatinan atas pembantaian warga Rohingya. Ia mendukung keberadaan muslim Rohingya ( baca:disini ). Namun sampai dengan Hari ini sejak Aung San Suu Kyi terpilih, peristiwa berdarah terus berlangsung. Dan Aung San Suu Kyi pun mendapat Serangan balik. Itulah peran media dalam menggiring opini, sangat berdampak besar pengaruhnya kepada keberpihakan masyarakat dunia.
Saya katakan pengaruh media, karena sejak 2012 opini yang berkembang yang dipublikasikan oleh pemberitaan media berasal dari media yang sama, itu - itu juga, hanya dari kalangan mereka saja, yakni sekarang, dari Ny Times, Washington Post, Reuters, CNN, BBC, ABC, Guardian dan media dengan rates lebih kecil yang masih berafiliasi dengan barat. Dan media main stream di dalam negeri pun isinya hanya mengutip dari media barat di atas.
Dari gambaran tersebut, tentunya ini memberikan satu benang merah terhadap situasi yang sebenarnya terjadi di Rohingya. Tempo mengupas "pembangunan Shwe Pipeline (Jalur Pipa Shwe) di Negara Bagian Rakhine yang telah menghubungkan distribusi migas dari Afrika dan Timur Tengah ke Negara Tirai Bambu itu"
Jika dibaca secara sepintas seakan kenyataan disana itu seolah benar seperti itu, tentu saja informasi tersebut tidak bisa menelannya bulat - bulat. Apalagi apa yang disampaikan oleh media Tempo itu adalah hasil kutipan dari Forbes, yang merupakan afiliasi barat juga. Tentu ini yang diserang siapa lagi kalau bukan blok Timur. Sementara yang terjadi didalam negeri adalah kemarahan karena yang mereka lihat dan dengar adalah pembantaian umat muslim Rohinya. Peristiwanya ini terjadi di tengah umat islam sedang merayakan suasana hari Raya Idul Adha.
Saya lebih suka menyebutnya pembantaian etnis, karena warga Rohingya di huni etnis tamil yang sebesar agama islam dan Hindu. Sementara dominasi agama di Myanmar, adalah Budha. Operasi ini di mulai tahun 1978, yang mereka sebut "OPERASI RAJA NAGA". Dan terus berlanjut. Konflik di Myammar sejak tahun 50an adalah konflik antar perwira Myamar yang bersaing merebut kekuasaan. Sejak Myanmar merdeka lepas dari jajahan jepang dan Inggris, yang berkuasa di Myanmar adalah partai Komunis. Dimana revolusi itu telah memakan korban tokoh pergerakan komunis Myamar yaitu Aung San yang dibunuh oleh Tentara Sekutu pasca PD II. Sekarang sekutu juga yang memberi penghargaan Nobel pada anaknya Aung San, yaitu Aung San Suu Kyi.
Media barat terus mempublikasikan peristiwa pembantaian atau pelanggaran HAM di Myanmar, sementara para pimpinan Barat santai saja, tidak ada pernyataan apa - apa , apalagi tindakan. Aktivis garis keras HAM di Perancis dan Australia pun adem ayem, seolah tidak ada pelanggaran apa - apa. Di belahan lain blok Timur malah intens melakukan pertemuan anggota BRICS. Yang sibuk hanya PBB. Presiden Turki, Erdogan berteriak, bahwa telah terjadi genosida di Rohingya. Dimana teriakan pun telah ada dan sama pernah dilontarkan di tahun 2012 meski bukan dari mulut Erdogan, yakni tahun 2015 dan sekarang. Semua keluar dari pihak Barat.
Jika tempo menyampaikan masalah investasi migas di Myanmar, maka agar berimbang, silahkan saja baca tulisan Dr. Badrul Imam is Professor, University of Dhaka and Visiting Faculty, University of Regina, Canada, di sini. Di sini kita coba hubungkan dengan pemberitaan, bahwa pengungsi tertahan di perbatasan bangladesh, ini yang menjadi benang merah, seolah memang dibiarkan terjadinya pembantaian. Hubungkan dengan kemenangan klaim Bangladesh di pengadilan arbitarse atas myanmar di area rakhine dan pengembangan explorasi migas Inggris di Bangladesh. Masih ingat Australia yang menggembar - gemborkan HAM menolak pengungsi Rohingya?
Kembali ke masalah sanksi Embargo yang dicabut USA, apa ini karena Pemerintah Myanmar telah melakukan pemulihan atas penduduk Rohingya?
Terus apa karena pemerintah Myanmar tidak akan melakukan lagi penindasan atas warga Rohingya?
Saya makin yakin bukan itu, karena di tahun berikutnya pembantaian masih terus terjadi. Tentunya masalah "Pencabutan Embargo" harus ditelusuri lagi, karena pembantaian etnis masih selalu ada kawasan tersebut. Dan dari kata kunci itulah yang membuka tabir tentang sebuah akal bulus, ternyata itu terjadi setelah keinginan barat diakomodasi pemerintah Myanmar, yakni investasi migas. Terbukti Chevron, Total dan lain - lain sampai dengan perusahaan migas Rusia pun mendapat porsi melakukan explorasi di sana. Silahkan dibaca masalah ini disini tentu tidak melupakan rencana RRC ikut andil investasi dan ikut andil dalam mengembangkan pembangunan ekonomi, budaya dan politik di Myanmar. Peran besar inilah bisa menjadi trigger konflik di Rohingya.
Silahkan simpulkan sendiri. Semua sekarang hampir termakan satu perangkap penggiringan opini termasuk oleh para opportunis yang memanfaat situasi sebagai ladang duit, dengan melakukan penggalangan dana bantuan. Mereka yang terbawa situasi opini yang dibangun hampir sebagian besar tidak lagi melihat bagaimana reaksi Putin, Trumph dan pemimpin barat lain sebagai bahan untuk kejernihan masalah di Rohinngya sehari setelah pemberitaan itu meluas. Kalau nanti, setelah tulisan ini muncul pernyataan sikap dari penguasa dunia atas Rohingya, bisa dipastikan itu basa - basi. Ini masalah Ekonomi yang homo homoni lupus.
Salam
No comments:
Post a Comment