Laman

Tuesday, 21 April 2020

Pandemi Covid-19 - Palu Telah Berhadapan Dengan 3 Bencana

Pandemi Covid-19 - Palu Telah Berhadapan Dengan 3 Bencana


Warga Palu, Sulawesi Tengah, pasca gempa bumi terdahsyat berkekuatan 7,4 skala richter tahun 2018 yang menewaskan 4.845 orang dan menghancurkankan lebih dari 100.000 rumah. Sekarang ketika pandemi virus corona datang, sebagian besarnya mereka masih ada puluhan ribu masih di tempat penampungan sementara.




Ribuan masih tanpa perumahan atau rumah sakit setelah gempa bumi tahun 2018, tsunami dan daerah pencairan hancur.


Ketika gempa bumi melanda, ruang perawatan dan sebagian rumah sakit Anutapura ambruk. Terdapat 250 tempat tidur rumah sakit hilang, hanya menyisakan 1.100 tempat tidur di semua rumah sakit Kelas A dan B dengan populasi lebih dari 2,6 juta. Rumah sakit kembali dibangun yangd seharusnya selesai bulan depan. Namun sekarang sudah berhadapan dengan wabah covid-19.


Dan yang paling ditakuti penduduk setempat adalah apa yang mungkin akan terjadi jika virus corona menyebar ke tempat penampungan yang kini masih menjadi rumah bagi puluhan ribu orang di seluruh kota, meskipun telah 18 bulan dijanjikan bantuan cepat.


"Setelah pemerintah mengatakan ada kasus virus corona di Palu, saya mulai panik," kata Tari Yalijama, seorang ibu tiga anak berusia 32 tahun yang tinggal di tempat penampungan sementara. Di tempatv penampungan ada sepuluh keluarga berbagi toilet.


"Sebelum ada hasil seseorang diuji positif atau tidaknya, semua orang akan menjalani kehidupan mereka secara normal. Namun orang-orang sekarang berpikir sakit panas akan membunuhnya," katanya. Karena katanya, virus dapat menyebar pada orang tanpa gejala dan tes sulit didapat.


"Tempat penampungan ini jauh dari layak diterapkan physical distancing," kata David Pakaya, seorang dokter dan dosen medis di Universitas Tadulako Palu." Setiap keluarga tinggal di daerah seluas kurang dari 215 meter persegi dan tanpa ventilasi yang memadai. "


Ada 699 tempat penampungan sementara, dengan jumlah hampir 9.000 orang. Dua belas keluarga berbagi empat kamar mandi dan satu dapur. Sedangkan tempat penampungan yang dibangun oleh lembaga swasta, ada ribuan lebih yang tinggal di gubuk kecil dengan satu kamar beratap metal dan kamar mandi yang digunakan bersama oleh lebih banyak orang.


"Kami menghadapi krisis kedua karena kami masih belum pulih dari yang terakhir," menurut Dewi Rana, pimpinan sebuah LSM yang berfokus pada perempuan.





"Jika virus covid-19 menginfeksi salah satu tempat penampungan, itu akan menyebar dengan mudah," kata Pandu Riono, ahli statistik dan pakar kesehatan masyarakat di Universitas Indonesia.


Dikombinasikan dengan fasilitas rumah sakit yang melemah, "itu akan menjadi bencana dan meningkatkan jumlah kematian dalam kondisi seperti itu," kata Riono.


Di seluruh Indonesia, para ahli memperkirakan virus telah menyebar lebih jauh dan jauh lebih dalam daripada yang dapat diuji oleh fasilitas medis. Ratusan ribu akan mati tanpa intervensi, menurut sebuah studi oleh tim yang memasukkan Riono di Universitas Indonesia.


Sulawesi Tengah telah mendeteksi dua lusin kasus positif dari virus ini, tetapi ratusan lainnya diduga dan tiga kematian telah dicatat, termasuk pejabat publik pertama negara itu, Bupati Morowali Utara, tim dan keluarganya yang mendampingi semuanya dinyatakan positif.


Pemerintah Palu telah berusaha melakukan intervensi dengan menyemprotkan disinfektan ke seluruh tempat penampungan sementara, meskipun ada bukti bahwa itu tidak memadai dan dapat membahayakan kesehatan manusia.


Rana, LSM, berbicara tentang kesehatan warga yang sudah buruk dan sistem kekebalan yang melemah: "Saya khawatir ini bisa menjadi jalan lain yang dapat digunakan virus,"


Nutrisi yang buruk juga dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh, dan pasokan air yang tidak konsisten membuatnya lebih sulit untuk menjaga kebersihan fasilitas dan tangan.


"Ada masalah kesehatan di tempat penampungan sementara, termasuk masalah gizi, stres psikososial, penyakit degeneratif, dan penyakit menular lainnya seperti TBC, dan demam berdarah, yang semuanya dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh," kata Pakaya.


Daerah ini terus mengalami tingginya tingkat infeksi pernafasan sebagai akibat dari debu dari puing-puing infrastruktur yang hancur dan pengaturan hidup yang tidak higienis. Selain itu, banyak warga mengalami kesulitan membeli pulsa telepon untuk mengakses internet, yang berarti bahwa hanya sedikit yang memiliki banyak pemahaman tentang penyakit ini.


"Kurangnya akses ke informasi yang valid tentang virus, mulai dari penyebabnya, gejala, dan metode pencegahan berarti warga tidak waspada dan tidak dapat mengidentifikasi jika mereka sendiri memiliki virus," kata Pakaya.




Tahun lalu, para pejabat mengatakan rumah pertama akan selesai pada akhir 2019, tetapi belum ada yang selesai. Ribuan orang belum menerima tiga jenis bantuan yang dimandatkan pemerintah yang dijanjikan: 1.dua bulan kompensasi harian, 2. kompensasi atas kematian anggota keluarga, dan 3. uang untuk membangun kembali rumah..


Fathi Zubaidi, Wakil Direktur Rs Anutapura, Rs terbesar kedua di Palu, mengatakan bahwa, ia yakin rumah sakit itu sekarang memiliki fasilitas yang memadai, walaupun pembangunan gedung rumah sakit yang hancur itu tersendat.


"Tetapi akses ke fasilitas kesehatan masih terbatas", kata Rana, "terjadi lonjakan kekerasan berbasis gender di tempat penampungan sementara yang bertempat tinggal dekat. Ruang-ruang yang sempit dan meningkatnya krisis mata pencaharian dan persediaan makanan yang tidak dapat diandalkan telah menyebabkan laporan tentang kekerasan dalam rumah tangga, pernikahan anak, dan invasi privasi.


"Kami sedang membangun database untuk semua tempat penampungan sementara, jadi kami tahu siapa yang hamil, kapan mereka akan melahirkan, dan berapa anak, karena akses ke rumah sakit atau klinik medis masih terbatas," kata Rana.




















⚠ Peringatan Covid-19



















Update kasus virus corona di tiap negara




No comments:

Post a Comment