Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan Indonesia akan tetap memperjuangkan hak negara untuk hilirisasi meski Dana Moneter Internasional (IMF) meminta pemerintah Indonesia mempertimbangkan penghapusan kebijakan larangan ekspor nikel.
“Itu bukan hanya rekomendasi IMF, tapi juga keputusan dari WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Tapi, kita akan terus banding. Karena yang kita ekspor bukan Tanah Air, tapi nilai tambah,” kata Airlangga saat ditemui di Jakarta, Selasa.
Airlangga menambahkan, sikap tersebut bukan hanya untuk memperjuangkan hak hilirisasi tetapi juga untuk membebaskan Indonesia dari bentuk kolonialisme baru.
Dia berpendapat permintaan IMF untuk memaksa Indonesia tetap mengekspor komoditas nikel merupakan salah satu bentuk regulasi imperialisme. Sebab, ia menilai tak seharusnya negara lain memaksakan kehendak kepada suatu negara dalam membuat kebijakan tertentu.
"Jadi kalau ada negara lain memaksa kita untuk mengekspor komoditas itu saya sering sebut sebagai imperialism regulatory, regulator yang imperialis," katanya.
"Sekarang kolonialisme baru itu dilakukan dengan cara itu," sambung dia.
Oleh karena itu, dia mengatakan akan tetap berusaha mempertahankan hak Indonesia memperoleh nilai tambah dari komoditas dan melakukan pembatasan ekspor nikel secara bertahap.
Diketahui, dokumen IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia memberikan catatan terkait rencana hilirisasi nikel di Indoonesia.
Dalam dokumen tersebut, IMF menyebut kebijakan harus berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut. Selain itu, kebijakan juga perlu dibentuk dengan mempertimbangkan dampak-dampak terhadap wilayah lain.
Atas dasar itu, IMF mengimbau Indonesia untuk mempertimbangkan kebijakan penghapusan bertahap pembatasan ekspor nikel dan tidak memperluas pembatasan ke komoditas lainnya.
Kebijakan Indonesia terkait nikel juga pernah mendapat penolakan dari Uni Eropa.
Uni Eropa menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan berhasil memenangkan gugatan pada Oktober 2022 lalu.
WTO menilai kebijakan larangan ekspor nikel Indonesia telah melanggar Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) XX (d) GATT 1994.
Kebijakan Indonesia terkait nikel juga pernah mendapat penolakan dari Uni Eropa.
Uni Eropa menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan berhasil memenangkan gugatan pada Oktober 2022 lalu.
WTO menilai kebijakan larangan ekspor nikel Indonesia telah melanggar Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) XX (d) GATT 1994.
Namun, Airlangga menegaskan Indonesia akan terus mengajukan banding.
No comments:
Post a Comment