Laman

Friday, 21 February 2014

Menghayati 'MERDEKA' Dalam Pola Pikir Keramat

Menghayati 'MERDEKA' Dalam Pola Pikir Keramat

Tulisan ini diambil dari Note Facebook saya, 17 Agustus 2013, yang belum sempat diteruskan isinya, disalin kembali di sini untuk diteruskan dari sambungan tulisan yang belum sempat diteruskan di note facebook
..


Pola pikir keramat, mengkeramatkan apa saja, bisa benda, bisa ghaib, bisa juga tradisi. Pola pikir ini dipengaruhi besar oleh kebodohan yang dipelihara lagi enggan beranjak dari dudukan lama, untuk membuka mata, telinga, pikiran dan hati melihat dunia dan alam sekitarnya. Pola pikir keramat ini hampir menenggelamkan NKRI kalau saja di NKRI tidak terjadi perimbangan antara penguasa dunia menguasai NKRI.






Namun hampir ini juga telah membuat NKRI menjadi mainan mereka, tidak benar - benar murni berdaulat. Akibat dari pola pikir keramat adalah lahirlah bule - bule hitam berhadapan dengan pembusung dada dari pola pikir keramat diramaikan lagi campuran dari keduanya. Dalam hubungan merdeka makna pada arti kemerdekaan, itu terkandung pada naskah kemerdekaan yaitu Proklamasi NKRI.


Naskah Proklamasi ini juga sepertinya sudah dikeramatkan, jadi kalau mau dikritik akan membikin ledakan - ledakan dari mulut mereka, para bule hitam, pola pikir keramat dan diantara keduanya. Sebaliknya memang tidak bisa dirubah - rubah isinya, karna itu adalah maklumat, ikrar sebuah pernyataan kebulatan sikap meminta persetujuan untuk dipersetujukan, bukan undang - undang. Setelah disetujui (legl of de jure de fact ) baru menyusun aturan (produk undang - undang dan pengaturan (produk norma hukum / perangkat hukum penataan) yang di ikat oleh visi dan misi.


Dalam catatan ini hanya ingin melihat naskah proklamasi pada sisi muatan isi sebagai ukuran kematangan bukan pada sisi semangat. Karna dalam hal semangat justru mendorong lahirnya naskah proklamasi dan proklamir kemerdekaan. Jadi dengan membaca muatan isi/makna yang terkandung didalamnya, tampak nyata, semangat yang tidak ada ilmu dan keahlian. Ibarat bertinju tidak pernah dilatih tidak tahu aturan, sudah merepotkan lawan tidak enak ditonton selain hasilnya membuat badan babak belur.


Ini seperti main bola dari orang yang tidak pernah main bola dan tidak tahu aturan mainnya, main tendang saja. Nanti dalam mengambil kesimpulannya pun menghasilkan perbedaan pula pada muatan maknanya, karna berhadapan dengan pola pikir keramat tadi. Alhasil mereka kemudian secara tidak sadar menjadi benteng terakhir bagi para bule hitam terhadap bagi siapa saja yang mau mencoba mengutak - utik pancasila dan UUD'45.


Perlu diterangkan disini, yang dimaksud bule hitam dalam catatan ini, bukan mereka yang dimaksud dengan para belanda hitam (pandangan mereka : belanda bukan rasnya, tapi kesan lamanya yg pernah menjajah membikin hidup getir dan sengsara), juga bukan dengan yang dimaksud oleh mereka sebagai antek barat (Perlu dilihat lagi kata neolib,agar tidak salah sasaran). Bule - bule hitam disini kiasan, pada tampilannya bisa didekati secara harafiah, tampilan perujudan apa yang didalam. Maksudnya, tampilan jelek, apa pantas tubuh hitam warna bule pada rambutnya. Dimana setiap orang menyebut bule itu bukan menunjuk ras, tapi pada warna rambut. Jadi bule - bule disini, orang yang tidak mampu memantaskan diri. Jadi dengan kata lain bagaimana bisa mereka mampu memantaskan orang lain?








Mereka ini orang yang asik dengan dirinya sendiri, orang rugi tidak apa asal ia untung besar. Mereka ini selalu ingin tampil di mana pun ia berada. Bukan itu saja selalu ingin terlibat dan berbagai cara usaha agar bisa dilibatkan pada moment - moment penting.


Kemudian bagaimana kita bisa lihat mereka dalam menuntaskan persoalan - persoalan hukum yang masih mengambang dan berlaku. Ketika aturan yang dijalankan bertemu dengan permasalahannya, yakni ketika masalah terjadi tidak tertampung oleh hukum yang berlaku pada saat kejadian itu masih hangat terjadi.

Seperti satu contoh adakah bagaimana mereka menanggapi perpu tentang MK juga bagaimana mereka menyelesaikan kasus korupsi, mereka tinjau KUHAP dan KUHP yang mereka sendiri kebanyakan kagak ngarti tapi belaga paling paham. Dan terakhir tentang UU PEMILU.


Itu semua bukan jalan keluar untuk memperbaiki Indonesia yang bermartabat, tapi itu dorongan dari ingin tampil ( menjaga eksistensi diantara mereka ) tadi yang melahirkan sulaman baru menjadi kain yang compang camping yang tak jelas corak ragamnya.


No comments:

Post a Comment