Laman

Wednesday, 3 June 2020

Pengusaha Tolak Program Tapera Jokowi

Pengusaha Tolak Program Tapera Jokowi


Kalangan pengusaha menolak program tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang diresmikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.




Menurut pengusaha, Tapera menambah beban perusahaan karena bukan cuma pekerja yang akan menanggung iuran kepesertaan, tapi juga pengusaha. Mengutip PP terkait, pengusaha dan pekerja patungan membayarkan iuran program Tapera masing-masing 0,5 persen dan 2,5 persen.


Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Harijanto mengatakan program Tapera tidak tepat diberlakukan, meski jangka waktu keikutsertaan pekerja swasta sampai tujuh tahun ke depan atau paling lambat 2027 mendatang.


"Apindo sudah menolak, setahu saya serikat pekerja juga menolak, tapi ini ada masa tujuh tahun paling lambat harus daftar," terang Harijanto kepada CNNIndonesia.com, Rabu, 3 Juni 2020.


Baca juga: Daftar 102 Daerah Boleh Aktivitas Produktif di Masa Pandemi Corona.


Baca juga: New Normal Commuter Line Penumpang Dilarang Ngobrol.


Menurutnya, hal utama yang membuat kebijakan ini tidak tepat adalah tumpang tindih dengan program kepesertaan lain. Misalnya, iuran kepesertaan BP Jamsostek.


Selain itu, ia juga tidak melihat urgensi yang mendasar dari kebijakan ini. Menurutnya, urusan menabung untuk perumahan pekerja sejatinya bisa dilakukan dengan cara lain.


"Kami belum bahas bagaimananya, tapi sebetulnya dana untuk perumahan karyawan itu sudah bisa diakomodir oleh BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Kami juga tidak tahu pemerintah untuk apa bentuk itu," jelasnya.

"Kami belum bahas bagaimananya, tapi sebetulnya dana untuk perumahan karyawan itu sudah bisa diakomodir oleh BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Kami juga tidak tahu pemerintah untuk apa bentuk itu," jelasnya.

Di sisi lain, menurutnya, kebijakan ini hanya akan membuat negara 'membuang-buang' uang. Sebab, biaya pembentukan badan biasanya tidak sedikit.




"Karena biaya pengelolaan akan mahal, harus ada direksi, pengawas, pegawai, dan lainnya," katanya.


Senada, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Antonius J. Supit juga menilai kebijakan ini tidak tepat. Sebab, kondisi ekonomi tengah tertekan akibat pandemi virus corona atau covid-19 dan pengusaha memiliki kewajiban iuran kepesertaan pekerja di bidang lain.


"Pengusaha ini ibarat mendaki gunung, sudah berat, belum tentu semua bisa. Seharusnya, beban kami dikurangi, bukan malah ditambah," tutur Anton.


Hal yang membuat kebijakan ini tidak tepat adalah waktu penerapan program yang dilakukan tahun ini dan implementasinya secara bertahap mulai tahun depan. Padahal, kondisi ekonomi usai pandemi corona pun diperkirakan masih cukup sulit karena harus melakukan pemulihan.


Sementara saat ini, para pengusaha masih terus berupaya agar Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak terjadi, meski operasional tak berjalan. Tujuannya, agar tidak semakin banyak pekerja yang kesusahan di era pandemi.


"Dalam kondisi saat ini, di mana ekonomi drop (jatuh) cukup besar, kebijakan ini kontra produktif. Saat ini pun kami berusaha agar jangan ada yang PHK, kalau ada, itu setelah recovery (pemulihan) pasti kami rekrut lagi," ucapnya.


Dari sisi iuran, pengusaha sejatinya juga memiliki beban iuran kepesertaan pekerja di bidang lain. Misalnya iuran peserta BPJS Kesehatan sekitar 4 persen dari tarif per bulan.


Lalu, ada juga kewajiban menanggung iuran kepesertaan BP Jamsostek, seperti untuk program Jaminan Hari Tua (JHT) sekitar 3,7 persen dari tarif kepesertaan. Kemudian, 2 persen dari tarif untuk program jaminan pensiun.


"Dari kewajiban BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan saja, total yang harus kami bayar sekitar 10,24 persen sampai 11,74 persen dari total gaji yang kami bayar," ungkapnya.




Menurut catatan Anton, setidaknya rata-rata beban iuran kepesertaan pengusaha untuk BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek berkisar Rp6,7 miliar per bulan. Bahkan, ada salah satu grup usaha dengan pekerja mencapai 110 ribu orang menanggung beban iuran mencapai Rp60 miliar per bulan.


"Ada yang bayar sebulan Rp60 miliar per bulan, itu jadi setahun Rp720 miliar sendiri," jelasnya.


Tak heran, sambung dia, bila banyak pengusaha yang justru meminta pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan tunda bayar iuran BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek kepada dunia usaha di tengah pandemi corona. Sebab, biayanya cukup besar dan mengganggu arus kas di tengah pandemi corona ini.


"Semua mungkin tahu apa yang paling baik, tapi yang kami lakukan semestinya adalah yang terbaik untuk saat ini. Jadi kurang bijaksana menambah kewajiban pengusaha sekarang ini ketika kami malah minta iuran BPJS ditangguhkan," tuturnya.


Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kebijakan iuran Tapera. Rencananya, kebijakan ini akan diimplementasikan secara bertahap mulai 2021.















⚠ Peringatan Covid-19























Update kasus virus corona di tiap negara




No comments:

Post a Comment