Tuesday 24 April 2012

Tawuran Bagian Dari Budaya Bangsa

Tawuran Bagian Dari Budaya Bangsa
Perkelahian masal atau akrab sering disebut tawuran, jadi sering terjadi. Tawuran bukan lagi satu - satunya menjadi milik pelajar. Ada tawuran antar kampung di beberapa tempat masih dianggap rawan terjadi letupan - letupan. Ada tawuran antar suporter bola, suporter bola dengan warga. Tawuran antar geng. Dan yang semodel dengan tawuran, pertikaian sengketa lahan... dan masih banyak lagi.. dengan bermacam peristiwanya. Itulah potret sisi kelam di negeri ini.

Melihat kenyataan sisi kelam ini, layak untuk kita berlapang dada, kalau tawuran itu diakui sebagai bagian dari budaya bangsa kita. Tawuran merupakan expresi dari bentuk semangat kebersamaan, peleburan dari rasa solidaritas. Tentunya, ujud dari kebersamaan, kebersamaan  pada sisi negatif dari sebuah kehidupan sosial budaya, yakni sebagai bentuk penyimpangan dari kaidah normatif yang telah dinormakan. atau penyakit buruk prilaku sosial atas sebuah pemahaman rasa solidaritas.

Pengecualian untuk tawuran antar pelajar dan tawuran antar suporter, secara umum, inti yang melatarbelakanginya adalah persoalan adanya ketidakadilan atau menganaktirikan. Dan mudahnya mereka terpancing kedalam kemarahan masal oleh sedikit letupan (gampang terprovokasi) diatas semangat kebersamaan pada sisi negatif, secara kasat mata bisa dilihat suasana keseharian dan ruangan di wilayahnya. Secara umum adalah masalah status sosial dan tingkat taraf ekonominya, diatas kondisi itu terbentuk rasa yang sama senasib seperuntungan, dimana rasa ini mudah sekali meledak kapan saja ketika menyentuh ke persoalan rasa dan harga dirinya. Kemudian diterjemahkannya kedalam tindakan  masal sebagai ungkapan kekuatan harga dirinya, yang mereka sebut itu adalah bentuk  dari rasa solidaritas.

Doeloe ada tawuran antar kampoeng yang sudah terus menerus dari generasi ke generasi, sudah seperti tradisi musim - musiman. Tapi sudah tidak lagi, setelah sebagian besar warga di kedua belah pihak, hidupnya sejahtera. Jadi sepertinya, dari sedikit gambaran diatas, ada korelasi antara tingkat kemakmuran dengan semangat tawuran. Cuma hipotesa ini masih mentah, karena ini seolah terpatahkan oleh adanya tawuran antar pelajar, tawuran antar suporter, tawuran antar geng, kemudian tontonan itu dilengkapi oleh bagaimana sikap para anggota dewan, kalau mereka ketemu sidang yang alot, deadlock, tidak ada kata sepakat, maka membahanalah keluar gemuruh sorak cemooh disana, kesemuanya sadar atau tidak sadar memberikan contoh membentuk karakter yang sama pada generasi berikutnya. 

Berkaca dari gambaran di atas, dilihat pada status sosialnya. Dimana sebagian besar dari mereka itu, apalagi anggota dewan, bukanlah kelompok dari golongan orang  - orang yang minim taraf hidupnya, bahkan daiantar mereka, rata - rata diatas lebih diatasnya lagi diatas rata - rata hidup sejahtera.

Lalu apa esensi dari tawuran ini kalau kita tak sudi mau berikhlas hati, mengatakan itu adalah bagian dari budaya bangsa? 

Exploitasi kemarahan yang membabi buta secara masal, amuk masa tak terkendali tiada mampu diredam jua, dihati - hati mereka, sekalipun pendidikan moral/ahlak slalu dikumandangkan dimana -mana? Belum lagi gaya petangtang petengteng karena mentang - mentangnya. Jika kita ada disana, ditengah - tengah amukan, seperti berada di ruangan angker, kaya di alam liar, bringas dan buas. Seperti sebuah negara yang tak bertuan, negara yang tidak ada negaranya.

Setiap negara memiliki dasar negara sebagai titik pijaknya disaat akan melangkah. Salah satu dasar dari dasar negara kita, adalah kerakyatan sama dengan kebersamaan semangat bergotong royong, bermusyawarah untuk mufakat, kemudian kata khidmad memberikan pembatasan bagi tumbuhnya semangat kebersamaan yang negatif dan anarkis, dengan kata lain semangat keinginan mau menegatifkan sikap solidaritas negatif. Tapi apa mau dikata, secara tidak sadar, banyak yang memberi contoh bagi tumbuhnya semangat mufakat kearah negatif, membuat persekutuan - persekutuan yang memancing saling berbisik saling menghasut, walau awalnya mungkin tidak sampai kearah itu, tapi mungkin pula lupa, sebab siapa yang membendung kebiasaan berbisik dalam persekutuan?

Ini baru satu, belum dikaitkan lagi dengan dasar - dasar dari dasar negara yang lainnya. Maka dibutuhkanlah sebuah teori/ ajaran yang mampu menjawab dari semangat yang terkandung dalam dasar negara kita. Sayangnya semua sudah menerima kalau dasar negara ( Pancasila) itu Ideologi. Yang padahal itu adalah visi yang melekat dengan misi yang mulia.

Kembali pada masalah kebersamaan pada sisi negatif, jika dilihat pada manusia sebagai mahluk sosial, ia sama dengan mahluk lainnya. Essensi mahluk sosial itu hidupnya berkelompok dalam mencari makan, menjaga lingkungannya batas kekuasaan. Jadi setiap mahluk hidup bisa bringas ketika wilayahnya dinganggu. Begitu dengan manusia, bringas pada manusia itu insting untuk menunjukkan kekuatannya, sama kaya mahluk lain, homo humini lupus.  Yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya, selain sebagai mahluk sosial, manusia juga sebagai mahluk budaya. Budaya inilah yang memberikan penilaian "kebersamaan pada sisi negatif" pada hal - hal kehidupan yang tidak beradab atau biadab. Sedangkan kehidupan biadab jika dilihat dari sisi mahluk sosial ansih, itu kebersamaan yang semodel itu tidak biadab tapi alamiah, gerak ilmiah semua mahluk sosial.

Maka essensinya disini adalah pada persoalan budaya. Pembentukan budaya itu melalui proses pendidikan.
Jadi berbagai hiruk pikuk aneka tawuran yang sampai dengan hari ini terus saja muncul itu muaranya pada persoalan pendidikan.

Dalam hal ini bukan mau menampikkan hasil pendidikan. Dan memang tidak semuanya buruk dari hasil penyelenggaran pendidikan di negeri kita.. Tapi tengoklah sudah berapa lama negara ini berdiri?

No comments: