Saturday, 15 March 2014

Bilur Pemilu

Bilur Pemilu


Pesta Pemilu sudah dekat, kampanye menggelinding deras. Kampanye searah melalui, pamflet, poster, spanduk, bendera parpol menutup semua ruang kosong. Kampanye dua arah, kian gencar, kasak - kusuk barter dukungan. Derasnya ini kian bertambah hebat dari kampanye lima - sepuluh tahun sebelumnya. Dedengkot parpol menganggap ini dinamika yang sehat sebagai keriangan di desa, perkampungan padat kota dari perjalanan menuju hajatan besar.




Mereka mengira suasana keriangan ini sama seperti pagelaran sebuah lomba menyanyi, menari, olah raga, atau 17an. Mereka menyamakan gembira yang sehat dengan politik. Mereka tidak berkaca, bahwa politik itu doktrin, doktrin yang dapat mengendalikan pikiran, hati orang - orang yang tidak mampu mengedalikan diri, yang itu dapat berujung paling getir pertumpahan darah. Ini adalah dao yang terkabul dari semangat menjaga seluruh tumpah darah Indonesia. Yang tidak mampu mengendalikan diri ini golongan labil.


Labil ini bukan persoalan kedewasaan tapi ditentukan ukuran kesulitan menjalani hidup, perut lapar atau kenyang. Perut lapar tidak bisa diganjal dengan ayat, hadis dan ceramah model motivator, tebusan laparnya pulus.


Ya setiap periode masa antar pemilu lima tahun sekali ataupun pilkada, pasti ada saja pertumpahan darah. Pertumpahan darah seperti dijaga agar terus mengalir darah - darah dari orang - orang yang polos, lugu. Ditingkat bawah ladang berkumpulnya luapan darah dan amarah akibat sulit hidup, yang siap meledak kapan saja jika sedikit saja disenggol.


Dan sekarang mereka di undang untuk memeriahkan sekaligus menggulirkan ledakan amarah. Doa mereka yang terkabul, menjaga seluruh tumpah darah Indonesia.


Tiga parpol saja sudah membuat garis dalam satu kampung antar parpol, apalagi banyak!..


Satu rumah bisa dikunjungi oleh puluhan orang dari parpol yang beda untuk minta dukungan, puluhan orang ini masih tetangaan dalam satu kampung. bahkan bisa satu atap. Mereka tidak terbebani saat menjalankan tugas menjadi garis depan untuk berkampanye, yang penting pulus buat nambal dompet bolong. Tapi mereka tidak mampu menutupi raut wajahnya dari kesan yang sebenarnya. Suksesi penyemaian bilur nanah..hehe.




Kalau dulu, meski dalam satu kampung pasti ada kelompok masyarakat dari tiga partai, tapi masing - masing antar pendukung parpol berjauhan tempat tinggalnya. Kalau pun ada yang berdekatan, itu pasti minoritas ditengah mayoritas, biasanya yang minoritas tidak akan berani memperlihatkan efforianya.


kondisi seperti itu saja sudah sangat memperlihatkan sekat, merusak sikap toleran asli. Nah, kalau sekarang sudah tidak lagi demikian, tidak lagi ada dinding pemisah, namun sebaliknya ini menjadi kumpulan endapan luapan yang ada dalam jiwanya atas pulus kerja bisa meledak kapan saja dalam satu kampung satu atap seperti harimau liar, singa dan serigala liar dalam satu kandang, bisa saling melukai oleh sedikit saja percikan api, meski permukaan lahirnya bersahaja saling bertegur sapa, namun bagian dalamnya seperti bilur yang siap meledak, kondisi dimana kalau dielus - elus makin enak buat mengurangi rasanya nyeri menjelang nanah siap keluar.


Bilur - bilur itu bagaikan duri dalam pemilu. Ini akibat dari sistem yang amburadul, itu yang mereka tidak tahu, mereka mau tujuannya tercapai (menguasai apbn).


Kenapa demikian?


Lihat saja, mereka tetap kukuh bertahan dengan keyakinannya atas pendiriannya, bahwa ini dijalur yang benar, bahwa gesekan - gesekan menjadi pernak - pernik dari perjalanan masa transisi demokrasi menuju kearah yang demokratis. Padahal sebaliknya, ini adalah masa- masa transit menjelang bilur - bilur itu meledak.


Adios....

No comments: