Kita satu bangsa dari beribu - ribu suku bangsa, begitu yang
diidam-idamkan ketika keinginan untuk hidup berdaulat membentuk sebuah
negara yang tercetus sebagai usaha perintisan oleh para tokoh - tokoh
bangsa pada tahun 1928. Semangat yang diangkat menjadi sebuah deklarasi
Soempah Pemoeda. Dan kemudian Proklamasi Kemerdekaan 1945 adalah jawaban
yang mana ikatan sebagai satu bangsa ini dituangkan kedalam
konstitusi.
Demikian sepenggal ingatan kembali ke masa sejarah
awal tercetusnya tekad besar melikuidir kedalam satu nusa satu bangsa
dalam wadah NKRI. NKRI, satu tingkat ini sudah diamini jadi tidak perlu
menjadi sebuah pertentangan, karena belum bicara pada persoalan arah dan
sistim negara, dimana ini menjadi sumber atas berbagai polemik di masa
kini.
Hari ini kita melihat sebuah kenyataan, bahwa seakan kita dibawa
kearah situasi yang tidak pasti. Berbagai kegaduhan politik, hukum,
ekonomi dan sosial kemanusiaan yang seperti tidak pernah akan ada ujungnya
adalah bagian dari bentuk permukaan luar yang didalam permukaan
dalamnya sudah tidak ada semangat melikuidir kedalam satu bangsa. Hal
yang paling sederhana adalah masih kuatnya maing - masing, para pejabat
negara, poltiikus, pengamat, ilmuwan, cendikiawan, bangga dengan bahasa
ibunya/daerahnya. Mereka hanya berbahasa Indonesia yang baik dan benar
pada acara formal ceremonial.
Dalam persentuhan
kesehariannya kembali ke bahasa ibunya/daerah jika dalam satu kelompok
sedaerah atau lingkungannya jika dalam kelompok yang membaur. Itu
merupakan pemandangan dari situasi yang wajar, tapi menjadi tidak wajar
dimana bahasa ibu digunakan dalam kegiatan kedinasan formal yang tak
resmi, atau dalam diskusi, rapat tertutup dsb. Dan kalau mau jujur pada
kegiatan formal semacam ceremonial atau yang bersifat terbuka
ditayangkan kepada khalayak umum, tidak sedikit peserta yang hadir
terpaksa hadir kalau tidak dikatakan didalamnya ada rasa segan. Ini baru
persoalan semangat satu bangsa, belum ke hal - hal yang lain.
Bagaimana
bisa mencapai amanah proklamasi kalau sudah begini? Mungkin lebih
cocoknya, situasi yang menggambarkan ikatan satu nusa satu bangsat,
karena hanya bangsat yang hanya memikirkan dirinya
sendiri / kelompok / golongan / partainya. Bersatu kalau ada bencana, ada
gangguan kedaulatan dari luar, satu lagi kalau Obama datang.
Menjadi
begini bukan datang dengan sendirinya atau sudah takdirNYA. Kalau
melihat konstitusi, baik UUD'45, apalagi yang diamandemen, dimana yang
diamademen ruhnya lebih bertitik tolak pada dendam masa lalu. secara
umum terlihat sama saja, tidak ada visi, misi, arah, sistim dan program
yang jelas.
Dalam tulisan ini tidak akan mengurai isi dari UUD tersebut dengan berbagai persoalannya. Satu saja mau disampaikan, dalam konteks persatuan dan kesatuan sebagai salah satu sumber petaka, yang secara tidak sadar telah memelihara perpecahan. Dimana konteks persatuan dan kesatuan, ataupun kesatuan dalam persatuan, telah ikut andil dalam memelihara kebanggaan kedaerahan. Memecahkan ini sebelum meninju isi konstistusinya yang sudah sangat mengambang, adalah semangat INDONESIA BERSATU.
Dalam tulisan ini tidak akan mengurai isi dari UUD tersebut dengan berbagai persoalannya. Satu saja mau disampaikan, dalam konteks persatuan dan kesatuan sebagai salah satu sumber petaka, yang secara tidak sadar telah memelihara perpecahan. Dimana konteks persatuan dan kesatuan, ataupun kesatuan dalam persatuan, telah ikut andil dalam memelihara kebanggaan kedaerahan. Memecahkan ini sebelum meninju isi konstistusinya yang sudah sangat mengambang, adalah semangat INDONESIA BERSATU.
Pangkal masalah untuk mencapai Indonesia Bersatu adalah
apakah Megawati mau bersatu dengan SBY? Prabowo dengan Wiranto? Amin
Rais dengan Suryadarma Ali ?
Disini saja problem bagaimana mau mendudukan kembali isi konstitusi yang membumi?
Adios