Kita bongkar bedah 1965 ke belakang penelusuran kambium DASAR NEGARA sebagai alkuturasi proses sosial budaya piramidal untuk melihat karakter asli bangsa Indonesia kemaren dan hari ini.
Perjalanan bangsa dari titik proklamasi hingga hingar bingar di ibukota pada kulminasi 1965 dengan terburai pertumpahan darah anak bangsa tidak lepas dari doa yang terkabul dalam UUD1945 juga bagian dari jejak langkah Soekarno dan Hatta dalam pencarian sistim tatanegara yang bisa senapas dengan identitas bangsa.
Doa bangsa yang terkabul, apa?
Satu, menjaga tumpah darah tanah air Indonesia.
Karena doa itu sepanjang masa di seluruh pelosok tanah air hampir tiap hari terjadi pertumpahan darah, baik antar individu, kelompok, etnis, besar kecil, dengan aneka ragam latar belakangnya. Jadi tumpah darah menjadi doa yang selalu dijaga dan lestari.
Hanya sejenak reda, ibarat api dalam sekam, didepan manis dan santun, dibelakang sinis dan bengis. Seperti kumpulan hati - hati yang sakit yang akut, susah disembuhkan. Membikin gerak dituntun menurut nalar sakit hatinya.
Lihat era SBY, pernah hadir Megawati dalam upacara bendara setiap tanggal 17 Agustus?
Meski dalam permukaan luar, SBY berusaha menetralisir situasi itu dan berusaha berdamai dalam sikapnya seakan sedang berusaha membangun simpatik masyarakat luas. Benarkah ini atas keinginan dari dalam?
Lihat saja tahun kemaren, SBY pun melakukan yang sama, tidak pernah hadir, bahkan seakan sedang menginjak aturan, datang ke pacitan meminta pada pemda setempat, menjadikan beliau menjadi pemimpin upacara. Ini yang disebut bergerak menurut nalar sakit hatinya. Lain soal pemda pacitan yang mengundangnya. Namun kalau mengundangpun ini pelaggaran karena mantan Presiden itu harus ada di pusat.
Dan tahun ini lebih baik, SBY bersedia hadir dalam upacara HUT NKRI. Tapi ada tontonan yang benar - benar merusak nilai Kesatuan, orang no 1 dan 2 dengan jajarannya memakai busana daerah. Mereka lupa mereka itu mewakili publik semua budaya, itu yang disebut Republika. Harusnya sudah melebur dalam satu. Budaya dan kebudayaan itu milik daerah, biarkan itu menjadi kebanggaan daerah. Bukan sebaliknya membawa atribut daerah dalam sebuah event NASIONAL.
Itulah contoh kecil namun cukup besar lubangnya, lubang yang sanggup membuat semua penghuninya seisi tanah air terperosok. Melihat itu semua, ini memberi satu kesimpulan keinginan untuk membangun semua komponen bangsa agar dapat hidup beradab, itu jauh panggang dari api. Karena yang menonjol keakuannya.
Revolusi mental itu tidak bisa dibangun dengan doktrinasi, lihat hasil P4 doktrinasi karya Orde Baru, tidak melahirkan apa - apa selain menyuburkan nepotism dan kolusi. Wara - wiri kesana kemari memasarkan revolusi mental, yang nanti berujung sama dengan P4 Soeharto.
Karena hidup ini pasti, pasti hadiah dari perbuatan, benar dan atau salah. Dalam menggelar satu keinginan maka harus dibuat konsep, disusun tahapan kerja, dari mana mau kemana mulai dari mana sampai kemana, peralatan apa saja yang dibutuhkan dan lain sebagainya.
Sementara yang mereka lakukan apa yang ada diluar dijadikan kesempatan berkontribusi memasarkan revolusi mental ala PDI-P. Jadi budak permainan situasi.
Budak permainan situasi ini ada korelasi dengan doa bangsa yang lainnya, yaitu politik bebas aktif atau non blok. Ini yang membikin abu - abu, membuat sikap banci, tidak gentle, tidak berani memposisikan diri dimana.
Boleh saja dengan politik bebas aktif atau non blok, itu juga menunjukkan posisi. Posisi netral. Namun tetap saja menunjukan tidak jelas posisinya. Sama dengan mengingkari peta politik dunia. Ujungnya jadi mainan barat dan timur.
Bukan hanya itu, maka dari karakter yang terbentuk dari doa bangsa itu, mereka ujudkan dalam dasar negara. Negara Kesatuan tapi didalamnya ada persatuan, sila ke - 3.
Kesatuan bermuara pada teori komunis yang unitaris sedangkan persatuan dari teori individual yang liberal.
Jadi berbagai rumusan yang dibangun diambil dari sampah kebudayaan. Dan dari sampah ini juga kerjaannya tidak produktif yakni main - main dengan sampah didaur ulang. Menurut mereka itu produktif dan kreatif. Begitulah pola pikir karakter bangsa.
Karakter itu yang telah membentuk budaya gemar membaca dan menulis kata mutiara, kata bijak. Seperti pujangga. Pujangga itu mahluk yang tergerus oleh perlombaaan pembangunan peradaban.
Ini resultansi karakter yang dibentuk oleh doa bangsa yang tiap tahun mereka senandungkan.
Keluar dari situasi ini bukan tidak bisa. Hanya bisa diujudkan oleh mereka yang benar - benar tulus ingin mengangkat semua komponen bangsa dari sabang sampai meraoke, dari permukaan kumuh hingga pedalaman, menjadi manusia bermartabat, sejahtera dan damai.
Salam sejahtera penuh berkah dan keselamatan !