Nasib petani Indonesia dari masa ke masa tetap sama, tak pernah ada peningkatan significant pendapatannya bagi perbaikan kesejahteraan hidupnya. Kalaupun ada, paling cuma 1 % dari total petani di Indonesia, baik sebagai pemilik lahan, pemilik dan penggarap lahan, penggarap atau buruh tani.
Padahal tidak sedikit yang mengepung mereka dengan judul "memberikan bantuan dan pembinaan", dari kementan, kemenkertran, kemen - kemen yang lainnya, balai - balai riset, ditambah lagi fakultas di hampir perguruan tinggi negeri dan swasta ada jurusan itu, digenapi oleh program csr.
Bayangkan saja, jika melihat itu, betapa hebatnya jaringan yang ada yang berusaha menjalankan program - program pengembangan pertanian. Namun kenyataannya, petani ya sebegitu - gitu saja. Kalau ada kesalahan disana, bisa dikatakan kesalahannya bukan pada petaninya, mengingat unsur - unsur didalam tiap lembaga - lembaga itu punya background pendidikan tinggi, rata - rata mereka lulusan S3.
Kenyataan demikian, bisa dikatakan pula berbagai media yang mengepung petani "bukan dalam rangka meningkatkan perekonimian dari hasil pertanian, baik industrinya maupun taraf hidupnya". Lebih tepat dikatakan petani menjadi objek bulan - bulanan mereka.
Itulah petani yang tidak jelas kedudukan golongan produktivitasnya, jadi sebetulnya petani itu termasuk kedalam golongan sumber pendapatan yang mana?
Masih mending buruh punya gaji walau cuma cukup untuk hidup 1/2 bulan, sisanya bikin catatan bon. Disebut pengusaha juga bukan.
Tulisan ini sekedar mau melihat kedudukan petani dan pertaniannya dalam program pembangunan. Di era Orba, memang terasa keberpihakan pemerintahnya, namun tetap saja itu tidak membuat mereka menjadi lebih sejahtera dibanding setingkat gol c pns.
Pada saat itu pun mereka masih dianggap golongan manusia tak tangguh yang bisa hidup dengan makan apa saja dari areal pertaniannya, seperti pada pemberian lahan dalam program transmigrasi. Di lokasi mereka serta merta langsung bisa menggarap lahan, tapi mereka harus membuka/membongkar lahan dulu sebelum lahan bisa digarap.
Lahan yang mereka terima itu masih berupa hutan belantara. Setelah dibuka hutan menjadi lahan bertani oleh para transmigran, barulah dibuatkan infrastruktur diareal lahan tersebut oleh pemerintahnya ( bukan pada pemukimannya, sebab kalau yang ini sudah disediakan meski setengah jadi).
Lalu seperti didalamnya ada azas manfaat tenaga murah oleh pemerintah untuk membongkar lahan guna kepentingan lain yang tidak ada hubungannya dengan nasib petani. Karena kenyataannya, lahan - lahan yang sudah dibongkar itu kemudian sebagian besarnya digarap oleh perkebunan kelapa sawit yang terus menggila semenjak kejatuhan rezim orba.
Seringkali dalam rangka memancing minat orang jawa bertransmigrasi. rezim Orba memblow up para petani sukses bertransmigrasi. Sukses setelah membakar kalori membabat kayu yang kayunya dibawa ke jakarta oleh orang - orang dilingkaran rezim orba. Ini hampir mirip punya kesamaan dalam pendekatannya adalah model militer perang dalam memanfaatkan tawanan perang.
Satu segi memang dengan model seperti itu terbilang sukses tercapai swasembada pangan. Namun disegi yang lain nasib petani trans yang kalau diukur pengorbanannya bagi penguasa saat itu ( tidak bagi nusa dan bangsa), tidak punya kepastian masa depannya, begitu juga dengan pertaniannya yang dalam banyak unsur terlibat mengembangkannya.
Maka setelah tumbang rezim Orba, terjadilah kondisi yang kian tiada jelas arah dalam konsep bertani dan pertanian. Kemudian jadilah dosen - dosen pertanian dan peneliti lebih gandrung bikin buku dibanding mengembangkan ilmunya. Dan lihatlah hasilnya malaysia sebagai muridnya dulu, kini lebih maju mengembangkannya.
Sekarang yang dihadapi, ketika setiap muncul masalah kepermukaan kelangkaan komoditas pertanian termasuk kedelai yang lagi hangat - hangatnya, pemerintahnya dibuat terkaget - kaget. Lalu solusinya cenderung keputusan - keputusan yang sifatnya situasional.
Lebih lucu lagi ketika Esbeye kelihatan baru engeuhnya, meminta bumn menanam kedelai. Tapi itu seperti pernyataan situasional juga, masih dalam koridor himbauan permintaan. Kesemua ini makin mempertegas tidak adanya konsep jelas dalam pembangunan. Dan itu menambah keyakinan kalau petani itu sudah seperti museum nasional. Sekedar ada, mengingat latarbelakang budaya jauh diabad - abad yang lampau.