Bangsa ini, entah dari mana asalnya, bangsa Indonesia gemar sekali membuat susunan kata - kata, merangkai kata indah. Terus bergulir, ini seperti kesenangan lanjutan dari kesenangan mendengar susunan kata - kata. Satu tingkat memang betul kalau kata - kata bisa menjadi trigger satu perbuatan, membuat ledakan seseorang termotivasi untuk melangkah, mampu membangkit api semangat.
Api semangat secara external bisa dipicu oleh kata - kata heroik yang membakar energi untuk bangkit. Dari situlah seperti menjadi kongruen dengan satu istilah "kerjakan dulu masalah bagaimana nanti". Menebarnya semangat seperti ini adalah bentuk pembiasan, akibat terlalu lama dijajah. Hingga tidak mampu lagi melihat kejernihan masalah hidup yang sebenarnya.
Kenapa ini bisa disimpulkan demikian?
Yang harus diketahui, peradaban berdiri tidak diatas satu rangkaian kata - kata indah. Gedung bertingkat bukan tumpukan bangunan dari rumusan kata - kata indah. Kenapa ini dikaitkan ke sini?
Karena bangsa ini sudah salah dalam orientasi berpikir yang itu otomatis berdampak pada tindakan. Pandangan yang salah itu di mulai dari orientasi pendidikan. Terus pernah berpikir, untuk apa pendidikan formal didirikan?
Bisakah dalam waktu yang bersamaan mau membentuk ahlak dan keterampilan?
Apa ini bukan karena berangkat dari tidak jelasnya akar masalahnya?
Kita lihat, dalam kenyataannya dasar yang membikin orang gemar membikin kata - kata bijak adalah seperti orang yang sedang dilanda rasa frustrasi. Kemudian keahliannya menyusun kata - kata indah ini, terbuka peluang pasar dari orang - orang yang frustrasi menghadapi masalah hidup, maka jadilah menjadi seorang motivator. Kemudian itulah yang menjadi lahan usahanya. Orang - orang frustrasi mengatasi masalah hidup, lalu berbondong- bondong mencari tempat duduk yang tempat duduknya, gedungnya, barang electroniknya hasil bikinan orang lain yang hebat, yang membuatnya dari satu rumusan. Kemudian mereka duduk dan menikmati karyanya.
Lalu selesai sang motivator bicara, mereka, orang - orang frustrasi ini berdecak kagum dengan apa yang didengarnya, bertepuk tangan riuh setelah menyimak susunan kata - kata indah dari sang motivator dan orang - orang yang ditampilkan oleh sang motovator. Ini tidak lebih dari seperti arak yang memabukkan. Seolah dengan itu mereka bisa keluar dari masalah hidupnya. Mereka diajarkan cara naik karir, tapi mereka tidak sadar lingkungan kerjanya sebagian besar masih bernuansa paternalistik. Kalau pun tidak begitu, tidak ada jenjang karir didalamnya dan lain - lain berbagai model dan rule lingkungan kerja.
Arak yang memabukkan, mereka melambung dibawa kedalam angan - angannya, seperti sedang melakukan pembebasan diri, mereka merenung tanpa solusi. Kemudian jika motivasinya supaya mandiri, dibalik itu sebenarnya mengajak dirinya menjual produk sang morivator, agar bangkit diimingi - imingi dengan berbagai janji. Kemudian jika bukan dalam bungkusan jualan, ketika seseorang dimotivasi untuk mandiri, yang tidak sadar dari yang dimotivasi adalah dari masing - masing mereka itu memiliki kemampuan yang berbeda - beda.
Dan yang paling brengsek adalah sang motivator seolah ahli berbisnis, berdikari, kemudian ia berbagi rahasia kiat menjadi sukses. Sekarang coba tengok keluar, tidak ada pengusaha sukses berbagi cara kiat sukses dari a sampai dengan z, bukan mereka pelit berbagi ilmu, tapi hidupnya sudah padat dengan membangun usahanya. Jado jika mau sukses, datangi orang - orang yang sukses dengan otak dan tangannya, bukan sama orang yang pandai bicara.
Lalu lintas susunan kata - kata indah itu, gambarannya seperti antara yang memotivasi dengan yang dimotivasi sedang saling membodohi diri. Yang harus diingat, tidak ada motivasi yang lebih hebat selain dari datangnya dari orang tua sendiri. Dan terkadang hasil motivasi dari luar membawa pulang ke rumah membuat si anak kurang ajar terhadap orang tuanya. Belum apa - apa sudah merasa lebih hebat dari orang tuanya.
Dunia paternalis yang begitu kental, membuat sebagian orang berpikir dalam karir satu - satunya jalan adalah bekerja. Dan jika bukan bekerja pada orang lain, usaha dengan meletakkan hasil sebagai tujuannya, yaitu duit dan popularitas. Dan dalam dunia paternalis bertumbukan sekarang di alam demokrasi. Dan susunan kata indah, janji - janji seperti memiliki ladang subur di arena pemilihan pemimpin daerah sampai pemimpin no.1
Duit mereka tempatkan diotaknya, sehingga apa diupayakan kearah itu tidak peduli persoalan benefit bagi dirinya dan orang lain. Lalu tiap orang miskin gigih berjuang yang matanya mengharu biru, haru birunya tidak mau sendirian ia bagi - bagikan ke orang lain, bukan untuk belas kasian, itu adalah ujud manusia yang sentimentil berharap ada orang lain membantu, kalaupun ia yang membantu, orang lain harus tahu.
Itu masuk beriringan dengan persoalan kedua, yaitu popularitas. Semua seperti dibuai ingin populer, karena dengan populer duit bisa mengalir. Karena memang wadah untuk membentuk kehidupan yang sejahtera tidak ada, kemudian direspon oleh para opportunis, dibuat ajang - ajang lomba.
Apa lomba itu bisa menampung semua komponen bangsa di bawah garis kemiskinan bisa terangkat?
Sementara puluhan juta orang miskin yang harus diangkat. Puluhan juta ini potensi sumber daya jika tidak diberdayakan dengan baik maka akan direbut para opportunis menjadi alat kepentingannya. Sebagai alat propaganda, menjadi budak dari anak dan mantunya.
Kembali sedikit ke masalah orientasi berpikir, menempatkan hasil sebagai tujuan. Salah satunya dalam tayangan iklan "mari berprestasi agar bisa memberi inspiring pada orang lain". Ini sudah benar - benar rusak orientasi berpikir mereka, jadi berprestasi agar bisa tenar, kalau tenar bisa niru dirinya. Itulah bagian dari katakter bentukan paternalistik. Yang dibesarkan oleh permainan kata - kata.
Mark Zukerberg, Bill Gate, Einstein ketika merintis tidak berpikir supaya nanti tenar, supaya nanti jadi inspiring. Mereka berbuat dengan apa yang bisa bermanfaat dari apa yang sedang mereka rintis. Itulah hal yang berbeda, perbedaan besar antar yang membangun peradaban dengan penonton peradaban.
Kembali saya ingatkan peradaban itu tidak dibentuk dari susunan kata - kata yang bisa mereka membikinnya dari kata - kata yang benar menjadi abu - abu.
Dalam rangkaian kata - kata selalu diiringi dengan expresi. Dan karena dilahirkan dari kungkungan kata - kata, ketika ada maksud maka expresi tingkah dan kata - kata dibikin - bikin seolah menjadi mahluk yang paling sopan dan santun, bahkan yang paling merusak dimulai kalimat dengan doa dalam sebush momen formal, dengan logat yang kental- kentalkan, difasih - fasihkan, seolah paling hafizh, berharap orang lain terkesan siap merogoh koceknya untuk menyumbang apa yang ada dikantong atau dompetnya.
Inilah potret masyarakat yang sudah rusak mentalnya. Dirusak oleh budaya, budaya dari hasil orientasi pendidikan. Melahirkan masyarakat yang tidak produktif, masyarakat yang parternalis nun sangat amat hedonis.
Hedonism ini pemicunya karena adanya orang yang bermental pak ogah. Ketika bangsa lain membuka pasar untuk berdagang disini minta imbalan duit jatah masuk kantongnya sebagai sekuriti. Maka terbukalah pasar yang menyediakan berbagai aneka kebutuhan dan kesenangan hidup, mendorong orang tergiur untuk mendapatkannya. Sementara mereka tidak digembleng keterampilan untuk bisa menghasilkan berbuat yang sama levelnya.
Sebaliknya yang digembleng keterampilannya, melalui pendidikan formal lulus, keluar seperti memasuki rimba belantara, seperti negara yang tak bertuan. Hanya bertuan negara itu bila menyangkut peraturan dan peredarah duit. Sementara peredaran generasi seperti berharap pada sukarelawan, pada panyandang dana, pada investor tanpa ada tekanan.
Ujungnya semua terbentur dalam kembali berpegang pada buaian kata - kata, sekedar menenangkan jiwa sementara persoalan hidup secara perorangan, lingkungan dan dalam skup negara tidak pernah terpecahkan.
Bangsa menjadi budak ditanahnya sendiri, bangsa menjadi budak bangsanya sendiri. Sementara mimpinya sudah melewati batas langit. Ini mimpi tanpa bekal. Apa columbus kebetulan menemukan pulau madagaskar?
Apa Thomas a Edison kebetulan menemukan listrik?
Dan ini stressing pertanyaan yang paling extrems, apa Rasulullah kebetulan mampu menaklukan Quraish di mekah?
Apa mereka tidak sadar permainan kata- kata itu seperti busur panah yang dilesakkan ke angkasa, akan balik lagi menusuk sumbernya.
Dalam fase tertentu mereka dapat berkamuflase dari permainan kata - katanya untuk menutupi karakter aslinya. Dan ingat tidak ada yang abadi, seperti datangnya hujan ditengah kemarau panjang menyapu lumpur yang menutupi bangkai dan kotoran.. lalu menggerusnya kelaut.
Bermimpi pengen kaya China tapi berangkatnya diawali dari beramai - ramai cari dari duit pajak.
Itulah mental pak ogah dan pak raden jadi satu, yang telah membikin rusak tatanan dan sendi - sendi hidup.
No comments:
Post a Comment