12 jiwa yang meninggal di tol Brebes rebes Mudik Tragedi Cermin Pembangunan Reflect itu bukan karena kecelakaan, tapi karena macet. Ini benar - benar satu fenomena baru yang bikin geger. Dan gegernya telah membahana sampai ke benua Amerika dan Eropa.
Hal yang lucu ini menjadi dagelan plesetan dengan sebutan "Brexit" sebagai bentuk sindiran. Bentuk keprihatinan dengan antara sinis dan bahan tertawaan.
Bermunculan reaksi atas peristiwa ini, dari komunitas peduli lingkungan, pengamat lalulintas hingga oleh para kritikus yang underestimate terhadap pemerintahan jokowi, moment itu jadi sasaran empuk.
Sementara yang pro terus liar bikin drama memblow up mengkilapnya pemerintahan Jokowi, begitu liarnya hingga tidak sadar apa yang diblow up semakin irrasional.
Situasi yang kian hari kian memperlihatkan kredibilitas pemerintahan Jokowi, yang sebenarnya tidak mampu membangun negeri ini. Ini semua oleh - oleh buruknya sistim hukum dan ketatanegaraan kita.
Hukum dan Ketatanegaraan itu bukan sekedar persoalan protokoler, SOP project, SOP administrasi, batasan fungsi pusat dan daerah dan lain sebagainya.
Namun yang terjadi seperti diatas, bahkan bangga bila hapal dengan prosedur dan fasih mengucapkannya, seolah kalo sudah begitu sudah sejajar dengan pejabat dan kontraktor tingkat atas.
Inilah kesan bangsa yang hanya bangga jika istilahnya sudah keren, hanya bangga kalo yang berlaku sudah kaya negara lain. Apa yang dibuat hanya sekedar menjawab tantangan yang ada, reflect.
Dalam kaidah norma hidup atau hukum dan tatanegara itu harus diletakan dasar pijakan mau kemana dan apa yang dituju, bukan sekedar persoalan menjawab tantangan yang ada. Tantangan itu tidak akan merusak kultur dan arus lalulintas selama sistim dibangun berdasarkan design.
Khusus menyangkut pembangunan infrastruktur, dari peristiwa Brebes, tidak bisa jalan keluarnya dengan melakukan survey. Ini sih kerjaan pedagang. Ujungnya bukan jalan keluar, masalah itu teratasi muncul lagi masalah baru yang tidak kalah hebohnya. Ini masalah pembangunan bukan masalah pengaturan yang sifatnya emergency, dalam kondisi seperti ini dibutuhkan pemimpin yang memiliki intelektual diatas rata - rata. Pemimpin yang bukan bermental pedagang. Sederhananya dibutuhkan seorang negarawan.
Negarawan itu bukan tokoh, negarawan itu seseorang yang faham dengan konsep bernegara dan faham masalah konsep negara yang ada, apa yang kurang, apa yang berlebihan dan apa yang mesti dilakukan demi kepentingan "bangsa" dan "negara".
Tidak seperti sekarang, ujungnya ada sebagian korp yang jadi bulan - bulanan, bahkan dirjen pun mengundurkan diri. Dan sangat disayangkan jawaban presidennya atas pengunduran diri dirjen tersebut. Ini menunjukkan membangun negeri ini tidak bisa dari seorang karbitan, kecuali tujuannya kekuasaan. Karena untuk hal semacam itu sah saja, siapa saja bisa jadi presidennnya yang penting hasrat kelompoknya terpenuhi selama presidennya bisa jadi bonekanya. Sebaliknya tidak jadi boneka pun, yang dilakukannya serba kompromi. Bukankah demikian yang kita saksikan kemaren dan sekarang?
Dan ini akan terus berlanjut selama sistimnya seperti sekarang, pembangunan hanya hasil reflect, bikin kereta cepat Jakarta - Bandung, reflect dari arus lalulintas, bikin tanggul reflect dari banjir dan banyak lagi contoh yang lainnya.
Fenomena kemacetan lalulintas ini ujungnya korp kepolisian menjadi korban pembangunan reflect. Kesemuanya menciptakan kehidupan tidak sehat secara mental, budaya dan sosial.
Hal yang lucu ini menjadi dagelan plesetan dengan sebutan "Brexit" sebagai bentuk sindiran. Bentuk keprihatinan dengan antara sinis dan bahan tertawaan.
Bermunculan reaksi atas peristiwa ini, dari komunitas peduli lingkungan, pengamat lalulintas hingga oleh para kritikus yang underestimate terhadap pemerintahan jokowi, moment itu jadi sasaran empuk.
Sementara yang pro terus liar bikin drama memblow up mengkilapnya pemerintahan Jokowi, begitu liarnya hingga tidak sadar apa yang diblow up semakin irrasional.
Situasi yang kian hari kian memperlihatkan kredibilitas pemerintahan Jokowi, yang sebenarnya tidak mampu membangun negeri ini. Ini semua oleh - oleh buruknya sistim hukum dan ketatanegaraan kita.
Hukum dan Ketatanegaraan itu bukan sekedar persoalan protokoler, SOP project, SOP administrasi, batasan fungsi pusat dan daerah dan lain sebagainya.
Namun yang terjadi seperti diatas, bahkan bangga bila hapal dengan prosedur dan fasih mengucapkannya, seolah kalo sudah begitu sudah sejajar dengan pejabat dan kontraktor tingkat atas.
Inilah kesan bangsa yang hanya bangga jika istilahnya sudah keren, hanya bangga kalo yang berlaku sudah kaya negara lain. Apa yang dibuat hanya sekedar menjawab tantangan yang ada, reflect.
Dalam kaidah norma hidup atau hukum dan tatanegara itu harus diletakan dasar pijakan mau kemana dan apa yang dituju, bukan sekedar persoalan menjawab tantangan yang ada. Tantangan itu tidak akan merusak kultur dan arus lalulintas selama sistim dibangun berdasarkan design.
Khusus menyangkut pembangunan infrastruktur, dari peristiwa Brebes, tidak bisa jalan keluarnya dengan melakukan survey. Ini sih kerjaan pedagang. Ujungnya bukan jalan keluar, masalah itu teratasi muncul lagi masalah baru yang tidak kalah hebohnya. Ini masalah pembangunan bukan masalah pengaturan yang sifatnya emergency, dalam kondisi seperti ini dibutuhkan pemimpin yang memiliki intelektual diatas rata - rata. Pemimpin yang bukan bermental pedagang. Sederhananya dibutuhkan seorang negarawan.
Negarawan itu bukan tokoh, negarawan itu seseorang yang faham dengan konsep bernegara dan faham masalah konsep negara yang ada, apa yang kurang, apa yang berlebihan dan apa yang mesti dilakukan demi kepentingan "bangsa" dan "negara".
Tidak seperti sekarang, ujungnya ada sebagian korp yang jadi bulan - bulanan, bahkan dirjen pun mengundurkan diri. Dan sangat disayangkan jawaban presidennya atas pengunduran diri dirjen tersebut. Ini menunjukkan membangun negeri ini tidak bisa dari seorang karbitan, kecuali tujuannya kekuasaan. Karena untuk hal semacam itu sah saja, siapa saja bisa jadi presidennnya yang penting hasrat kelompoknya terpenuhi selama presidennya bisa jadi bonekanya. Sebaliknya tidak jadi boneka pun, yang dilakukannya serba kompromi. Bukankah demikian yang kita saksikan kemaren dan sekarang?
Dan ini akan terus berlanjut selama sistimnya seperti sekarang, pembangunan hanya hasil reflect, bikin kereta cepat Jakarta - Bandung, reflect dari arus lalulintas, bikin tanggul reflect dari banjir dan banyak lagi contoh yang lainnya.
Fenomena kemacetan lalulintas ini ujungnya korp kepolisian menjadi korban pembangunan reflect. Kesemuanya menciptakan kehidupan tidak sehat secara mental, budaya dan sosial.