Showing posts with label Hukum dan tatanegara. Show all posts
Showing posts with label Hukum dan tatanegara. Show all posts

Thursday 14 July 2016

Brebes Mudik Tragedi Cermin Pembangunan Reflect

Brebes Mudik Tragedi Cermin Pembangunan Reflect


12 jiwa yang meninggal di tol Brebes rebes Mudik Tragedi Cermin Pembangunan Reflect itu bukan karena kecelakaan, tapi karena macet. Ini benar - benar satu fenomena baru yang bikin geger. Dan gegernya telah membahana sampai ke benua Amerika dan Eropa.

Hal yang lucu ini menjadi dagelan plesetan dengan sebutan "Brexit" sebagai bentuk sindiran. Bentuk keprihatinan dengan antara sinis dan bahan tertawaan.

Bermunculan reaksi atas peristiwa ini, dari komunitas peduli lingkungan, pengamat lalulintas hingga oleh para kritikus yang underestimate terhadap pemerintahan jokowi, moment itu jadi sasaran empuk.

Sementara yang pro terus liar bikin drama memblow up mengkilapnya pemerintahan Jokowi, begitu liarnya hingga tidak sadar apa yang diblow up semakin irrasional.

Situasi yang kian hari kian memperlihatkan kredibilitas pemerintahan Jokowi, yang sebenarnya tidak mampu membangun negeri ini. Ini semua oleh - oleh buruknya sistim hukum dan ketatanegaraan kita.

Hukum dan Ketatanegaraan itu bukan sekedar persoalan protokoler, SOP project, SOP administrasi, batasan fungsi pusat dan daerah dan lain sebagainya.

Namun yang terjadi seperti diatas, bahkan bangga bila hapal dengan prosedur dan fasih mengucapkannya, seolah kalo sudah begitu sudah sejajar dengan pejabat dan kontraktor tingkat atas.

Inilah kesan bangsa yang hanya bangga jika istilahnya sudah keren, hanya bangga kalo yang berlaku sudah kaya negara lain. Apa yang dibuat hanya sekedar menjawab tantangan yang ada, reflect.

Dalam kaidah norma hidup atau hukum dan tatanegara itu harus diletakan dasar pijakan mau kemana dan apa yang dituju, bukan sekedar persoalan menjawab tantangan yang ada. Tantangan itu tidak akan merusak kultur dan arus lalulintas selama sistim dibangun berdasarkan design.

Khusus menyangkut pembangunan infrastruktur, dari peristiwa Brebes, tidak bisa jalan keluarnya dengan melakukan survey. Ini sih kerjaan pedagang. Ujungnya bukan jalan keluar, masalah itu teratasi muncul lagi masalah baru yang tidak kalah hebohnya. Ini masalah pembangunan bukan masalah pengaturan yang sifatnya emergency, dalam kondisi seperti ini dibutuhkan pemimpin yang memiliki intelektual diatas rata - rata. Pemimpin yang bukan bermental pedagang. Sederhananya dibutuhkan seorang negarawan.

Negarawan itu bukan tokoh, negarawan itu seseorang yang faham dengan konsep bernegara dan faham masalah konsep negara yang ada, apa yang kurang, apa yang berlebihan dan apa yang mesti dilakukan demi kepentingan "bangsa" dan "negara".

Tidak seperti sekarang, ujungnya ada sebagian korp yang jadi bulan - bulanan, bahkan dirjen pun mengundurkan diri. Dan sangat disayangkan jawaban presidennya atas pengunduran diri dirjen tersebut. Ini menunjukkan membangun negeri ini tidak bisa dari seorang karbitan, kecuali tujuannya kekuasaan. Karena untuk hal semacam itu sah saja, siapa saja bisa jadi presidennnya yang penting hasrat kelompoknya terpenuhi selama presidennya bisa jadi bonekanya. Sebaliknya tidak jadi boneka pun, yang dilakukannya serba kompromi. Bukankah demikian yang kita saksikan kemaren dan sekarang?

Dan ini akan terus berlanjut selama sistimnya seperti sekarang, pembangunan hanya hasil reflect, bikin kereta cepat Jakarta - Bandung, reflect dari arus lalulintas, bikin tanggul reflect dari banjir dan banyak lagi contoh yang lainnya.

Fenomena kemacetan lalulintas ini ujungnya korp kepolisian menjadi korban pembangunan reflect. Kesemuanya menciptakan kehidupan tidak sehat secara mental, budaya dan sosial.

Wednesday 1 August 2012

UU Partai Politik Menempatkan Parpol Semodel Badan Usaha

UU Partai Politik Menempatkan Parpol Semodel Badan Usaha
Tidak salah kalau yang disebut politikus bisa seperti kutu loncat. Itu karena UU Parpolnya pun sudah jauh panggang dari api. Uraian disana secara tidak langsung telah mendefinisikan dengan sengaja partai politik tak ubahnya badan usaha.

Disini tidak ingin membeberkan isi UU-nya, pasal demi ayat berikut dengan UU perubahannya. Kalau diurai satu persatu selain bikin pegel tangan juga bukan tempatnya. Sebab tempat untuk menguji kan di kantor MK. Lagian saya bukan bung Yusril, yang menangguk diair keruh. Kenapa?

Karena masalah hukum dan ketatanegaraan di negeri ini bukan hanya satu dua masalah UU. Dan masalah UU Parpol adalah salah satu masalah dari ribuan masalah UU yang masih sudah saling  tumpang tindih tak karuan. Ini yang harus ditertibkan.

Dimana dari semua masalah itu permasalahan besarnya bermuara pada UUD-nya. Karena itu UUD-nya harus ditinjau ulang dan direvisi. Apa sudah ada berlaku, telah membuat cita - cita bangsa yang tertuang didalam "Pembukaan UUD'45" tidak pernah sampai - sampai.

Mungkin ini ada korelasinya, waktu UUD itu susun dan disahkannya, dikerjakan dengan tempo yang sesingkat - singkatnya, tidak dilakukan pengkajian dengan seksama. Hal ini juga barangkali sekedar memenuhi persyaratan berdirinya satu negara, salah satunya harus punya konstitusi.

Kemudian pada perjalanan apa yang dibuat itu (konstitusi) seperti dikeramatkan untuk dirubah. Hingga kini diikuti kesininya mewariskan secara estapet, setiap membuat UU atau peraturan dilakukan dengan tempo yang sesingkat - singkatnya. Ini seperti ujud dari doa dari proklamasi.

Lihat saja meski baru tahun 1999 dilakukan revisi, melahirkan UUD45 yang diamandemen, isi dari bab penjelasan, bukan makin membumi malah dari sudut uraian semakin tidak   menggunakan bahasa hukum. Membuat apa dibaca dari UUD45 yang diamandemen bisa mencerminkan latarbelakang pendidikan dari para pembuat revisinya. Padahal ketika itu sudah banyak pakar hukum senior, apa tidak dilibatkan atau memang tidak sempat dilibatkan karena dikejar kebelet pipis?

Ujungnya membuat yakin ini adalah ujud dari doa proklamasi 1945. Namun jika sekalipun  ini ada pengaruh dari doa proklamasi, setidak - tidaknya tidak kesusu, tergopoh - gopoh menyelesaikannya. Untuk membuat perubahan sebuah konstitusi dan sistim yang sudah jadi dibutuhkan  interval waktu tidak sedikit, kurang lebih 10 tahun.

Sekalipun begitu harus segera melakukan dimulai tahapan pengerjaannya. Tidak seperti kemaren dirubah sekenanya langsung disahkan.

Proses pengkajian dalam cara pandang yang sama sekalipun pandangan berbeda dan proses kerjanya berangkanya pada satu titik pijak tantangan dan jawaban dari segala aspek hidup dan kehidupan bernegara berdasarkan visi, misi, arah dan tujuan dalam setiap menyusun satu UU, apalagi yang dibukukan sebagai kitab, sebelum membuat dan atau merubah. Jika itupun masih punya sekelumit itikad kesungguhan demi bangsa dan seluruh tumpah tanah air.

Dan dari hasil yang dibuat, disahkan yang sekarang berlaku, dapat disimpulkan, bahwa sekalipun dilakukan perubahan pada UUD-nya, itu tidak akan ketemu perbaikan yang benar - benar jitu menjawab persoalan bangsa ini, kalau tidak dilandaskan hati - hati yang memiliki rasa cinta kepada tanah air begitu besar.

Jadi tidaklah salah kalau banyak yang antipati terhadap anggota dewan atau para penyelenggara negara. Itu UU-nya melegalisir maunya nafsu setiap manusia, bukan membatasi dan atau menempatkan fungsi yang benar - benar proporsional berdasarkan rujukan rumusan yang sebenarnya. Ujungnya negara ini tidak akan mampu memerangi KKN siapa pun yang akan duduk menjadi orang no. 1.

Orang - orang juga karena tumpang tindihnya UU, kebanyakan mereka pesimis terhadap siapapun yang akan duduk di dpr dan di pemerintahan, bakal menjawab hidup mereka yang bertebaran hidup di setiap jengkal wilayah NKRI. Oleh karena UUD-nya tadi.

Friday 27 April 2012

Rumah Tinggal

Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang pesat sebagai tanda tegaknya kedaulatan Negara. Kedaulatan ini harus di imbangi dengan arah pembangunan yang jelas bagi terciptanya perputaran ekonomi yang dinamis dengan memaksimalkan sumber alam dan sumber daya manusianya yang didalamnya didorong oleh sistim pengupahan yang layak hidup kearah sejahtera. Jika tidak, Kedaulatan itu hanya sebatas kemerdekaan tinggal dan berserikat. Mendorong rakyat untuk berkompetisi adalah baik dan sangat dianjurkan, sebab itu dapat memacu peningkatan kemampuan potesinya. Namun, membiarkannya berkompetisi tanpa ada pembinaan, arahan dan kontrol dari pemerintah, memicu terciptanya hukum rimba, manusia satu dengan yang lain saling bergesekan tak terkendali. Satu tingkatan kondisi itu dapat menguntungkan pemerintah, mengurangi beban. Tapi pada 3 tingkatan diatasnya, dalam jangka panjang, membuat dinamika ekonomi menjadi stag, berkutat dilingkaran tertentu. Tentunya ini memberikan peluang besar bagi terciptanya persaingan yang kian tidak sehat, menumbuhkan bibit gangster - gangster yang siap membunuh siapa saja. Dan ini sudah terjadi, contoh - contohnya banyak, Parpol salah satu gangsters formal. Itu semua adalah hasil dari pembangunan sebelum - sebelumnya. Dan ujungnya terus terjadi tolak tarik.

Tolak tarik pembangunan sudah pasti menghambat cita - cita Negara, membuatnya tidak pernah menunjukkan peningkatan yang significant, slalu tertinggal 2 langkah dengan negara tetangganya, bahkan oleh negara Vietnam sekalipun. Disamping itu memperburuk norma - norma kaidah hidup yang selaras etika peradaban yang memenuhi harapan kemanusiaan dalam ikatan berbangsa dan bernegara. Kembali muaranya adalah akibat tidak jelasnya arah, tumpang tindihnya pengaturan, hingga mengabaikan jeritan suara rakyatnya.

Bagi Rakyat, negara menjadi rumah tinggalnya. Yang dibutuhkan mereka bukan dibuatkan tempat tinggal, sebab tempat tinggal itu adalah hak asasi. Berdirinya tempat tinggal sepadan dengan kesejahteraannya, artinya ditentukan oleh tingkat kemampuan finansialnya. Kemampuan finansial ditentukan oleh pekerjaannya. Berikan pekerjaan yang diupah pantas layak hidup, bukan alakadarnya diatas belas kasihan (sisthm upah buruh harian/bulanan lepas yang menyayatkan) dan mengukur tingkat pengabdiannya ( sistim upah honorer cpns yang menganiayakan). Sebab itu adalah bagian dari bentuk penyelewang Pemerintah pada Negara, melakukan pembiaran dan pengabaian terhadap satu unsur dari negara, sdm.