Showing posts with label Salah Benar Tentang HUKUM. Show all posts
Showing posts with label Salah Benar Tentang HUKUM. Show all posts

Monday, 10 March 2014

Salah Benar Tentang HUKUM

Politik-Salah Benar Tentang Hukum


Pernyataan salah dan benar dalam interaksi sosial biasanya pada masalah prilaku, sedangkan dalam pendidikan menyangkut masalah soal ujian atau materi ujian. Dan pada budaya menyangkut rasa, gaya dan etika. Yang unik adalah pada persoalan hukum, di Indonesia dan masyarakat dunia, hukum dibuat dalam rangka yang hampir sama, yaitu untuk membatasi gerak. Sehingga muncul kata bersalah dan tidak bersalah, terbukti dan tidak terbukti, bebas bersyarat dan tanpa syarat dsb. Uraian itu hanya sebagai pembuka saja dari apa yang akan  diurai tekanannya pada hukum, yaitu tentang bagaimana hukum di Indonesia dibuat ditetapkan dan dijalankan.




Hukum di Indonesia, tidak jauh berbeda dengan hukum yang ada di seluruh negara di dunia, kerangka berpikirnya diatas satu dogma bahwa "hukum itu nilainya bersifat relatif, isinya bisa berubah mengikuti perkembangan masa dan situasi yang berubah" atau"perubahan itu mengikuti perubahan masa/zaman". Seakan teori itu baku tidak boleh melanggar dogma itu. Hal ini wajar, karena yang menjadi landasannya adalah untuk membatasi gerak. Sehingga nanti kalau ada yang mencuri divonis, dikatakan bersalah, divonis korupsi dikatakan bersalah, divonis membunuh dikatakan bersalah. Konsep seperti ini diambil atau hasil pengembangan dari konsep yang dibikin firaun disadur kembali oleh plato diteruskan oleh socrates dan aristoteles, mengalir yang kini menjadi pegangan besar dalam penyusunan kerangka hukum.


Sedangkan Hukum itu sendiri adalah pengaturan, norma berbuat, kaidah hidup, jadi bukan untuk melakukan pembatasan gerak. sekalipun mereka mengklaim dengan matanya yang melotot dan kepalanya keluar api, "hukum itu pengaturan". Namun itu ucapan itu tidak dapat membuktikan pernyataanya,  jika melihat hasil, yakni melihat isi undang -undangnya, baik KUHP dan KUHAP, pada isinya tetap saja sama, dalam rangka pembatasan gerak. Muncul lagi yang lagi ramai meminta tindakan pencegahan, terus panik minta harus dibuatkan perangkat regulasinya, agar bisa efektif melakukan tindakan pencegahannya. Pernyataan ini makin mempertegas terhadap hukum itu sendiri sebagai pembatas gerak. Seperti orang bikin pagar rumah tinggi dengan gembok segede gajah, tetap saja kecolongan karena tujuannya memang untuk membatasi dari pengaruh tidak baik dari luar.  Contoh konkritnya lagi bagaimana mereka kebakaran jenggot ketika banyak koruptor digelandang, segera mereka bikin perubahan / undang -undang tujuannya sangat kelihatan, sebagai pencegahan, mencegah jangan sampai tangannya juga diborgol.


Ujungnya Hukum menjadi alat mainan, tidak memberi ruh pada dasar negara, dengan begitu sasaran menjadi kabur buram.


Singkat kata, yang benar itu kalau ada yang mencuri ia bersalah jika hukumnya belum ada, sebaliknya ia tidak bersalah selama hukumnya ada, bingungkan? hehe..


Hukum itu supaya aturan menjadi rampung karena pengaturan. Jadi perbuatan pencurian bersalah dari sudut sosial budaya, sedangkan perbuatannya dari sudut hukum tidak salah selama ada ganjaran konkritnya, yakni benar karena   diatur dalam hukum, yaitu  pidana tentang untuk pencurian, itu yang dimaksud kepastiannya, yang dimaksud hukum sudah benar karena memenuhi nilai sosial, tapi belum sampai bicara tentang keadilan sosial apalagi bicara adil dan beradab. Sehingga ketika dibacakan dakwaan itu bukan "ia terbukti bersalah..", tapi " ia melanggar.." Apa perlu kata bukti? terbukti? tidak terbukti?




Tidak perlu! kan barang buktinya ada dan atau tidak ada. kalimat itu cuma membikin lebay dari hidup yang sudah lebay. Makin puyengkan??? hehe..


Hal lain, bagaimana mereka menetapkan UU sebagai perangkat hukum untuk memberikan kepastian geraknya, tidak berakar serabut dengan dasar dan konstitusi, meski mereka cantumkan dalam isi sebagai bahan pertimbangannya. Lebih tekanannya oleh karena dendam, itu yang membuat hukum itu rapuh, kekuatan hukum menjadi lemah. Kesemua itu dasar motivasi dilakukan perubahan bukan karena perubahan zaman, tapi tolak tarik permainan sentimentil yang ada didalam diri mereka. Sehingga bisa seenaknya saja, kapan pun mereka mau, mereka ubah menurut pesanan yang bisa membuat perutnya buncit. Biar terang, paling enak dikasih contoh ilustrasi, walaupun sebenarnya malas membaca produk hukum yang ada sekarang, ya itu tadi masalahnya, bahasanya saja sudah tidak bernilai hukum. Contoh pada UU pemberantasan tindak pidana korupsi, pada isi timbangannya sebagai prolognya sudah lemah secara hukum dalam arti lebih karena muatan dendam. Begini ;


"...menimbang: bahwa tindakan pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional.."


Ini bahasa lebay selain mengambang, ini yang dikatakan muatannya karena dendam, jadi muatannya menjadi tidak berakar serabut dengan tujuan bernegara ( Dasar dan Konstitusi NEGARA ). korupsi itu tindakan pidana, kenapa ditambah tindak pidana korupsi? ini yang dikatakan lebay, belum kata "sangat merugikan" ini bahasa sentimentil bukan bahasa hukum. terus kalau diangkat untuk dikupas disini UU perubahan yang yang lainnnya, tambah ngaco lagi, seperti contoh dibawah ini;


"menimbang : bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas"


Jadi kalau tidak meluas tidak apa - apa, itu implikasi hukumnya, kemudian coba lihat pada UU perubahan berikutnya, makin memperlihatkan ketidakberdayaan, baik dalam pelaksanaan maupun menyusun sebuah kerangka HUKUM. Jadi mereka terus akan bikin perubahan - perubahan yang itu semakin mengambang, karena motivasinya dendam atau main - main. Ujungnya tidak sedikit korban hasil main - main seperti ini.  Disini tidak ingin mengupas semua isi dari uu tersebut, apalagi semua produk UU yang ada dan berlaku, karena sudah seperti tumpukan sampah yang tidak bisa didaur ulang, harus dibuang.


Contoh ilustrasi lainnya, nah! ini paling hangat contoh kasusnya, kasus sidang mantan pejabat PLN SUMUT, disana dikatakan oleh HAKIM, ia bersalah telah melanggar pasal 2 ayat 1. Ini menggelikan, pembacaan seperti ini sudah menjadi bahasa umum para hakim. Bagaimana tidak menggelikan, kalau  dikatakan ia bersalah melanggar pasal 2 ayat 1 artinya terdakwa tidak tidak melakukan yang digambarkan pasal 2 ayat 1. Dan kata salah ini juga menjadi salah karena pasalnya ada. Jadi yang pas itu kalau memang terbukti telah melakukan tindakan pada pasal 2 ayat 1 , bukan seperti diatas disebutkannya, tapi hakim bisa mengatakan, seccara harafiahnya ( bukan harus persis seperti contohnya), bahwa " berdasarkan alat bukti dan keterangan saksi - saksi terdakwa telah memenuhi pasal 2 ayat 1 etc, maka ...." atau ia melanggar karean memenuhi pasal 2 ayat 1..dsb"..


Terus apa begitu penting menyebutkan "kata bersalah atau tidak bersalah"?

Tidak!!!..tidak penting lagi kecuali menambah atau memenuhi atau menularkan sikap dendam pada masyarakat, yang mana itu memperburuk tatanan kehidupan.


Itu sekilas tentang Salah Benar Tentang Hukum, agar tidak mengambang lagi seperti sekarang lagi demam bikin kata - kata  mengambang, yang datangnya dari masing - masing parpol. Semua parpol hampir sama jualannnya: "membikin Indonesia lebih baik", ini kalimat yang mengambang, tidak jelas seperti apa, bagaimana, kapan tercapainya. By the way, bisa dianggap wajarlah karena tujuan sebenarnya kan bukan untuk Indonesia yang lebih baik tapi untuk diri mereka sendiri. Kalimat itu begitu karena hasil colongan jadi asbun saja yang keluar dari mulutnya, biar keren dilihat orang pejuang yang cinta tanah air.


Adios.