Tuesday 12 June 2012

Sok Intelek

Sok Intelek
Bangsa Indonesia kebanyakan memaksakan diri ke intelek - intelekan. Itu tergambar dalam setiap penyampaian ataupun penulisan, selalu menyelipkan kata atau istilah asing. Entah apa yang disampaikannya itu sudah dimengertinya atau memang asal - asalan yang tidak difahami oleh dirinya sendiri. Dan bisa mungkin, apa yang dilontakannya itu tidak dipikirkan lagi maknanya kemana, yang penting kata - katanya keren, sehingga diomonginnya juga keren biar tambah beken, biar bisa dianggap orang, dirinya orang intelek. Mungkin saja begitu.

Seperti di kota Bogor ada spanduk terpampang tulisan Botani Garden. Saya tanya dimana itu, kata tukang asesoris, kebun raya.

Aduh..! Bayangkan kalau semua tempat disamakan padanan katanya dengan bahasa asing?

Ntar Gunung gede jadi big mountain, Cisaat menjadi drain river, dsb. Sampai nama sekolah, misalkan Sekolah Analis Kimia, biar keren mungkin jadi Analyst of Chemist Snappish High School dan banyak lagi contoh - contoh yang semodel itu yang sering kita jumpai dilihat, dibaca dan kita dengar.

Kalau nama tempat boleh dirubah menurut padanan bahasa, maka tentunya boleh dong liverpool jadi orang empang. Rocky mountain jadi gunung batu, jadi kalau dalam Pendidikan murid menjawab soal dari gurunya, liverpool fc dengan klub sepakbola orang empang, guru tidak boleh mencontreng salah. Terus New York jadi york baru.

Inilah bahagian dari kebiasaan dan menjadi ikutan pula oleh mereka yang ikut - ikutan yang tidak mengerti sama sekali maknanya, yang kalau sudah menyebutkan serasa sudah sejajar masuk dalam barisan orang - oramg intelek. Kebanyakan orang seperti ini suenang dipuja puji. Jadi jangan heran, karenanya banyak bangsa lain, negara lain senang di negara kita, karena gampang dikibulin. Sampai bangga terpingkal - pingkal bisa menulis west java, midle java, east java. Merasa punya jati diri sebenarnya sudah tidak punya jati diri.

Monday 28 May 2012

Pusaran Sahara Timnas

Pusaran Sahara Timnas



Sudah lama tidak meraih prestasi, kini sejak ada perubahaan ditubuh PSSI, prestasinya malah makin memburuk. Ujungnya para pemain, dari mulai usia dini sampai ke tim seniornya menjadi korban atas polemik di tubuh PSSI. Korban penyekatan, tidak tersaring bukan tidak lolos tapi tidak sepihak. Korban hujatan, hujatan dari pecintanya karna buruknya prestasi. Dan pencinta bola di seluruh tanah air pun terbelah kedalam dua arus yang saling bertentangan dari pusaran yang terjadi di tubuh PSSI. Sebuah potret yang kalau diafdruk pun hasilnya tetap buram.

Buramnya prestasi ini tidak baik bagi perkembangan sepakbola itu sendiri, juga bagi pengembangan motivasi para pemain untuk meningkatkan skill mereka dan kerjasama tim. Hadirnya klub - klub besar dunia tak akan membawa manfaat yang significant buat timnas, karena pemain - pemainnya terpecah tadi, tidak dalam satu kesatuan hasil seleksi yang benar - benar objektif. Kehadiran klub - klub besar hanya mendatangkan hiburan bagi pecintanya dan mendatangkan duit buat pengelolanya. Dan buat pemain cuma mendatangkan kebanggaan karna bisa berlaga dengan klub itu.

Kebanggaan ini tentu bisa sebagai nilai lebih yang diserap sebagai bekal kemampuan individu dan mental bertandingnya, namun sulit diterap dalam satu tim, terbangunnya kebersamaan, kebersamaan yang bisa menyeiramakan kerjasama didalam tim.

Ya, bagaimana bisa terbangunnya kebersamaan tim, sekarangnya saja sudah dipastikan walau sulit dibuktikan, bahwa telah terbangun kecemburuan, kecemburuan yang bisa menjadi cikal bakal bentuk penanaman ketidakpedulian secara tidak langsung, munculnya sikap antipati secara tidak sadar. 

Siapa yang membangun ini? 
Ya, perseteruan di tubuh PSSI itu sendiri.

Kenapa bisa terjadi kemungkinan seperti itu? 
Ya, karena ada pemain - pemain yang dulu dilibatkan bermain dan pernah dieluk - elukkan oleh pecintanya, kini tidak lagi masuk daftar skuad. 

Kemudian nantinya bukan tidak mungkin pula nantinya akan dibuatkan event - event eforia tandingannya, selain model event yang sudah ada, baik event formal dan event tandingan formal yang sudah, ipl dan isl. Oleh karena kepala batu diantara keduanya, maka siapa yang menjadi tandingan atau yang menjadi aslinya sudah tidak jelas lagi. Perseteruan ditubuh PSSI itu yang mencoreng nilai eventnya, pantas tidaknya mana yang pantas sebagai event formal. Dan dalam mempertahankan pendapatnya, sikap anak kecil dari keduanya selalu menyeruak, bahwa masing - masing selalu membawa - bawa nama statuta Fifa. Disebut kaya anak kecil, bukankah kalau diantara anak kecil lag marahan atau berantem, selalu membawa nama jagoannya, yang nggak - nggak pun suka disebut.

Begitulah pusaran sahara timnas, nasib prestasinya diombang ambingkan oleh kekacauan di tubuh PSSI itu.

Dan yang disebut Tubuh PSSI, yaitu pengurus formal PSSI dan pengurus formal tandingannya, KPSI.

Sedangkan yang disebut pecinta bola, yaitu SPKTI, saya pecinta kopi tubruk Indonesia.

The end


Thursday 24 May 2012

Mendidik Melayang Tiada Pijakan

Mendidik Melayang Tiada Pijakan
Lucu ya, ketika orang tua menjauhkan hp, games dan tivi dari anak - anak untuk membangun disiplin dan kreativitasnya. Lucunya, tivi, games dan hp itu tidak pernah jauh dari orang tuanya. Orang tua menikmatinya ketika anaknya tidak tahu atau sama - sama menikmati kalau orang tua suka acara tivinya atau boleh main games kalau dan kalau.. Dengan kata lain kenapa itu semua dibeli kalau anaknya tidak boleh? Atau ikut menikmatinya apa yang menjadi kesukaannya? Apa tidak kalau begitu orang tua terlalu egois?

Keinginan besar dari pikiran orang tua untuk mengaplikasikan satu model pendidikan ideal pada anak tapi menjadi kontradiktif. Kontras antara rasa sayang yang berlebihan dengan aturan disiplin yang sedang diterapkannya. Rasa sayangnya membuat orang tua slalu berusaha memenuhi kebutuhan tersier apa saja yang menjadi trend pada usia anaknya dengan mudahnya, tapi disisi lain ingin punya anak yang disiplin dan punya kreativitas. Kemudian dalam aplikasinya buah pikirannya, apa yang dibelinya untuk anak, boleh digunakan diwaktu tertentu terutama di hari libur, sementara orang tuanya boleh setiap hari. Dalam hal bermain diluar rumah juga dibatasi waktu dan aturan - aturannya. Bahkan mungkin lebih banyak larangannya. Dan lucunya, kreativitas yang diharapkan itu adalah kreativitas yang diinginkan orang tuanya, bukan dorongan keinginan / kesukaan awal dari anaknya. Dan itu diimplentasikannya melalui kursus - kursus keterampilan, seperti serasi namun ada yang timpang disini.

Ketimpangan dalam keseimbangan pemberian nilai pendidikan pada anak, tidak akan menghasilkan seorang anak yang persis seperti yang diharapkan orang tuanya. Mungkin kalau keterampilan pada si anak terbentuk, tapi tidak pada pembentukan karakternya. Karakter seorang ksatria yang memiliki rasa solidaritas lagi punya rasa kepedulian besar pada sesamanya (bagi anak laki) atau feminim yang bersahaja ( pada anaj wanita). Yang ada adalah melahirkan anak - anak yang egois, pemalu tapi sombong, pemberani tapi tak tau diri. Dan yang paling buruk adalah tidak memiliki pendirian yang agung dalam arti menjadi gampang ikut - ikutan.

Nah jika diminta untuk memilih diantara pengasahan bakat dan perkembangan jiwanya, tentu banyak yang lebih memilih bakat sebagai pilihan prioritas, sebab itu menyangkut penghidupannya kelak. Jadi itu adalah pilihan wajar. Namun pilihan itu menunjukan, mungkin ada hal yang terlewatkan yang tidak kalah pentingnya bagi para orang tua, bahwa manusia esensinya adalah mahluk sosial. Jadi dimana pun manusia berada, di tempat kerja, dalam keluarga, dalam organisasi dan di tengah - tengah masyarakatnya, ia tidak bisa melepaskan dirinya dari simpul - simpul ikatan itu. Dan simpul - simpul itulah yang akan membantu jalannya. Jalannya akan lebih mudah jika ia bisa bekerja atau diterima keberadaannya dengan baik. Sebaliknya simpul - simpul itu juga bisa mempersulit jalannya, jika ia tidak bisa bekerjasama atau tidak begitu diterima keberadaannya.

Alangkah lebih baiknya memberikan porsi disipilin menurut takaran usianya, porsi kreativitas menurut pilihannya, yang digenapi dengan keteladan dari para orang tuanya. Jika tidak ada keteladan, nilai pendidikannya tidak ada, buah usahanya mengetrapkan pendidikan menjadi sia - sia, seperti mendidik melayang tidak memberi titik pijakan, membuat anak melayang - layang dimainkan angin dan benang.

Barangkali ini bisa bermanfaat, kalau pun tidak sama sekali, ya abaikan saja dan habiskan kopinya…

Wednesday 23 May 2012

Memaksakan Nilai Baik

Memaksakan Nilai Baik
"Hasil Pendidikan yang buruk adalah selalu mengajarkan nilai - nilai baik kepada peserta didik atau anak atau murid.. Sedangkan pendidikan yang baik mengajarkan nilai yang utuh, baik dan jahat, dengan segala akibatnya / ganjaran atas pilihannya"

Uraian pembukaan diatas sebagai kesimpulan dari realita yang ada, bahwa rusaknya moral sebagian besar anak bangsa akibat salah didik. Salah didik oleh karena pada orientasinya itu selalu mengedepankan pemaksaan nilai - nilai , yaitu hanya memaksakan nilai - nilai baiknya saja, tidak menyuguhkan dengan utuh dari sebuah nilai moral, yang baik maupun yang jahat, pilihan bagus atau pilihan buruk.

Pada orientasi pendidikan yang cendrung memaksakan nilai baik saja, kalaupun diberikan gambaran moral buruk, tekanannya lebih kepada untuk menakut - nakutinya agar si anak menjauh. Sementara dalam kenyataan hidupnya diluar dunia pendidikan, anak - anak disuguhi contoh riil ucapan, mimik / expresi, sikap dan perbuatan buruk, di jalan ketika pulang sekolah, ketika bermain, di rumah, dari internet, vcd dan media televisi.

Pendidikan timpang seperti ini memberikan andil besar juga didalam merusak mental bangsa, terutama kestabilan pilihan hidup dan dalam hal pengambilan keputusannya di setiap masalah. Karena tidak utuh mendapatkan informasi lengkap tentang akibat pilihannya, ujungnya mereka mencoba - coba apa yang tidak diketahuinya dan apa yang samar yang ia terima di bangku sekolah maupun dari orang tua.

Kita semua tahu, bahwa ada satu kenyataan riil dari satu cita - cita di setiap para orang tua, yaitu satu keinginan yang sama didalam mendidik anak, bahwa mereka berharap anaknya kelak memilih jalan yang baik didalam menempuh jalan hidupnya. Diatas dorongan keinginan seperti inilah yang kemudian menggerakkan setiap orang tua / pendidik / penyampai moral, didalam menanamkan nilai pendidikannya, menjadi cenderung dominan memaksakan nilai - nilai baik dengan segala perangkat pemagarannya.

Satu tingkat model pendidikan seperti ini seakan terlihat baik dan baik - baik saja ketika sudah berjalan. Apa yang dilakukannya sebagai pengukuhannya atas kesungguhan dari itikad baiknya. Disana orang tua/pendidik mau mengukir nilai baik, sama dengan mau memberikan penanaman pengaruh secara internal kepada si anak, agar kelak bisa tangguh ketika si anak berhadapan dengan dunia nyata, yaitu atas berbagai arus pengaruh eksternal, baik yang baik maupun yang buruk.

Maka atas dasar itu, tidak jarang orang tua/pendidik juga memasang perangkatnya sebagai bentuk pemagarannya, yaitu berusaha memagari si anak/murid dengan segala cara agar pengaruh nilai - nilai buruk/jahat/amoral tidak sempat masuk ke dalam penglihatan, pikiran dan hatinya.

Kenyataannya, hasil pendidikan semodel ini selain memperburuk dalam pembentukan jati diri kepada anak. Juga melelahkan bagi orang tuanya baik secara mental maupun kematangan berpikir.

Pendidikan yang dimaksud itu malah akan memperburuk pembentukan jati diri anak, oleh karena pada ujungnya nanti si anak itu sendiri yang nantinya menentukan jalan hidupnya. Ketika si anak ini masih dalam asuhan orang tua, dalam arti persentuhan dengan dunia luarnya masih minim dibanding dengan pengaruh dari orang tuanya, sebelum mencapai aqil baligh, si anak akan terbentuk dengan nilai - nilai baik itu dan dia akan menyenanginya, disamping si anak saat itu sudah tahu apa itu yang dimaksud dengan tidak baik dan ia juga tidak mau dengan itu.

Namun pembentukan karakter ini tidak akan bertahan lama, ketika ia diperkenalkan dengan pergaulan yang lebih luas, dimana pergaulan itu mulai mendominasi dalam kesehariannya didalam pergaulannya. Artinya waktu si anak bersama orang tua / pendidik-nya lebih sedikit dibanding pergaulannya.

Kemudian karena pergaulannya itu, mungkin saja yang tadinya buruk menurut pikirannya, yaitu pikiran dulu yang pernah ditanamkan oleh orang tua/pendidik secara memaksa, mulai ia ragu dan nyoba - nyoba sesuatu hal - hal baru atau yang dianggap tabu, ketika ia melihat itu pada sisi lain berdasarkan penilaian hasil dari pengaruh eksternalnya, baik dalam pergaulannya, ilmu pengetahuannya dan informasi - informasi yang berseleweran yang pernah ditangkapnya.

Dan ujungnya si anak mulai mencoba, mulai nyoba - nyoba menjajakinya dan akhirnya tidak sedikit yang memilih yang jahat baik, memilih apa yang dilarang sebelumnya oleh etika, norma dan agama secara terpaksa maupun karena kemantapannya.

Apa yang dilakukannya ini berangkatnya ada karena ketidak tahuannya, karena kematangan tingjat berpikirnya ia telah bisa menyimpulkannya sendiri tentang nilai jahat / buruk / amoral tersebut, ada juga karena benar - benar mencoba dan ketagihan ujungnya si anak terperosok dan sulit kembali ke keadaan semula.

Akibat pendidikan tidak lengkap ini, tidak sedikit pula, yang tadinya baik menjadi jahat. Walaupun ada juga yang tetap bertahan tidak mencobanya, itu bukan karena hebatnya pendirian yang telah terbentuknya, tapi kebanyakan itu oleh karena ketakutan - ketakutannya atau tepatnya karena keluguannya. Dan itu bukan karena diatas malunya.

Pendidikan seperti ini juga, bagi orang tua, sangatlah melelahkan, sangat menguras energi dan materi. Sebab meski mereka, para orang tua sudah memberikan pendidikan, namun tetap saja mereka selalu dihinggapi dengan kekhawatiranya atas arus luar yang akan mempengaruhi perkembangan bentuk berpikir dan kejiwaan si anak tersebut, yang karena kekhawatirannya malah membuat si anak terjerumus nantinya . Belum lagi nanti si anak menjadi sasaran pertanyaan - pertanyaan dari kekhawatirannya ketika si anak telat pulang, disamping ia juga terkadang sebagai sasaran empuk atas alibi dari dalih masalah pada pekerjaannya, yaitu si anak tak jarang menjadi korban pelampiasan orang tuanya atas segala masalahnya dengan pekerjaannya atau bermasalah dengan apa saja.

Pada Ujungnya untuk menjawab kekhawatirannya mereka para orang tua harus merogoh kocek lebih dalan lagi. Mereka akan memasukan anak - anaknya ke sekolah yang exlusive lagi expansive, yang memberikan garansi protektif pada si anak, selama di sekola, menuju dan pulang sekolah.

Pernah lihat Lady Gaga nyanyi?
Jadi tidaklah heran, kenapa konser Lady Gaga terus dijadikan polemik. Itu adalah hasil dari pendidikannya.

Terakhir dalam dunia yang tidak steril ini, dalam mendidik dan membina bukan berarti harus mensterilisasi si anak dari pengaruh - pengaruh tidak benar.

Dalam pendidikan yang utuh, nilai pendidikan itu harus teruji mempunyai kekebalan yang nantinya menjadi imun yang menghasilkan sterilisasi dengan sendirinya pada si anak..

Singkatnya itu saja dan  terima kasih..

Semoga bermanfaat