Wednesday 23 May 2012

Memaksakan Nilai Baik

Memaksakan Nilai Baik
"Hasil Pendidikan yang buruk adalah selalu mengajarkan nilai - nilai baik kepada peserta didik atau anak atau murid.. Sedangkan pendidikan yang baik mengajarkan nilai yang utuh, baik dan jahat, dengan segala akibatnya / ganjaran atas pilihannya"

Uraian pembukaan diatas sebagai kesimpulan dari realita yang ada, bahwa rusaknya moral sebagian besar anak bangsa akibat salah didik. Salah didik oleh karena pada orientasinya itu selalu mengedepankan pemaksaan nilai - nilai , yaitu hanya memaksakan nilai - nilai baiknya saja, tidak menyuguhkan dengan utuh dari sebuah nilai moral, yang baik maupun yang jahat, pilihan bagus atau pilihan buruk.

Pada orientasi pendidikan yang cendrung memaksakan nilai baik saja, kalaupun diberikan gambaran moral buruk, tekanannya lebih kepada untuk menakut - nakutinya agar si anak menjauh. Sementara dalam kenyataan hidupnya diluar dunia pendidikan, anak - anak disuguhi contoh riil ucapan, mimik / expresi, sikap dan perbuatan buruk, di jalan ketika pulang sekolah, ketika bermain, di rumah, dari internet, vcd dan media televisi.

Pendidikan timpang seperti ini memberikan andil besar juga didalam merusak mental bangsa, terutama kestabilan pilihan hidup dan dalam hal pengambilan keputusannya di setiap masalah. Karena tidak utuh mendapatkan informasi lengkap tentang akibat pilihannya, ujungnya mereka mencoba - coba apa yang tidak diketahuinya dan apa yang samar yang ia terima di bangku sekolah maupun dari orang tua.

Kita semua tahu, bahwa ada satu kenyataan riil dari satu cita - cita di setiap para orang tua, yaitu satu keinginan yang sama didalam mendidik anak, bahwa mereka berharap anaknya kelak memilih jalan yang baik didalam menempuh jalan hidupnya. Diatas dorongan keinginan seperti inilah yang kemudian menggerakkan setiap orang tua / pendidik / penyampai moral, didalam menanamkan nilai pendidikannya, menjadi cenderung dominan memaksakan nilai - nilai baik dengan segala perangkat pemagarannya.

Satu tingkat model pendidikan seperti ini seakan terlihat baik dan baik - baik saja ketika sudah berjalan. Apa yang dilakukannya sebagai pengukuhannya atas kesungguhan dari itikad baiknya. Disana orang tua/pendidik mau mengukir nilai baik, sama dengan mau memberikan penanaman pengaruh secara internal kepada si anak, agar kelak bisa tangguh ketika si anak berhadapan dengan dunia nyata, yaitu atas berbagai arus pengaruh eksternal, baik yang baik maupun yang buruk.

Maka atas dasar itu, tidak jarang orang tua/pendidik juga memasang perangkatnya sebagai bentuk pemagarannya, yaitu berusaha memagari si anak/murid dengan segala cara agar pengaruh nilai - nilai buruk/jahat/amoral tidak sempat masuk ke dalam penglihatan, pikiran dan hatinya.

Kenyataannya, hasil pendidikan semodel ini selain memperburuk dalam pembentukan jati diri kepada anak. Juga melelahkan bagi orang tuanya baik secara mental maupun kematangan berpikir.

Pendidikan yang dimaksud itu malah akan memperburuk pembentukan jati diri anak, oleh karena pada ujungnya nanti si anak itu sendiri yang nantinya menentukan jalan hidupnya. Ketika si anak ini masih dalam asuhan orang tua, dalam arti persentuhan dengan dunia luarnya masih minim dibanding dengan pengaruh dari orang tuanya, sebelum mencapai aqil baligh, si anak akan terbentuk dengan nilai - nilai baik itu dan dia akan menyenanginya, disamping si anak saat itu sudah tahu apa itu yang dimaksud dengan tidak baik dan ia juga tidak mau dengan itu.

Namun pembentukan karakter ini tidak akan bertahan lama, ketika ia diperkenalkan dengan pergaulan yang lebih luas, dimana pergaulan itu mulai mendominasi dalam kesehariannya didalam pergaulannya. Artinya waktu si anak bersama orang tua / pendidik-nya lebih sedikit dibanding pergaulannya.

Kemudian karena pergaulannya itu, mungkin saja yang tadinya buruk menurut pikirannya, yaitu pikiran dulu yang pernah ditanamkan oleh orang tua/pendidik secara memaksa, mulai ia ragu dan nyoba - nyoba sesuatu hal - hal baru atau yang dianggap tabu, ketika ia melihat itu pada sisi lain berdasarkan penilaian hasil dari pengaruh eksternalnya, baik dalam pergaulannya, ilmu pengetahuannya dan informasi - informasi yang berseleweran yang pernah ditangkapnya.

Dan ujungnya si anak mulai mencoba, mulai nyoba - nyoba menjajakinya dan akhirnya tidak sedikit yang memilih yang jahat baik, memilih apa yang dilarang sebelumnya oleh etika, norma dan agama secara terpaksa maupun karena kemantapannya.

Apa yang dilakukannya ini berangkatnya ada karena ketidak tahuannya, karena kematangan tingjat berpikirnya ia telah bisa menyimpulkannya sendiri tentang nilai jahat / buruk / amoral tersebut, ada juga karena benar - benar mencoba dan ketagihan ujungnya si anak terperosok dan sulit kembali ke keadaan semula.

Akibat pendidikan tidak lengkap ini, tidak sedikit pula, yang tadinya baik menjadi jahat. Walaupun ada juga yang tetap bertahan tidak mencobanya, itu bukan karena hebatnya pendirian yang telah terbentuknya, tapi kebanyakan itu oleh karena ketakutan - ketakutannya atau tepatnya karena keluguannya. Dan itu bukan karena diatas malunya.

Pendidikan seperti ini juga, bagi orang tua, sangatlah melelahkan, sangat menguras energi dan materi. Sebab meski mereka, para orang tua sudah memberikan pendidikan, namun tetap saja mereka selalu dihinggapi dengan kekhawatiranya atas arus luar yang akan mempengaruhi perkembangan bentuk berpikir dan kejiwaan si anak tersebut, yang karena kekhawatirannya malah membuat si anak terjerumus nantinya . Belum lagi nanti si anak menjadi sasaran pertanyaan - pertanyaan dari kekhawatirannya ketika si anak telat pulang, disamping ia juga terkadang sebagai sasaran empuk atas alibi dari dalih masalah pada pekerjaannya, yaitu si anak tak jarang menjadi korban pelampiasan orang tuanya atas segala masalahnya dengan pekerjaannya atau bermasalah dengan apa saja.

Pada Ujungnya untuk menjawab kekhawatirannya mereka para orang tua harus merogoh kocek lebih dalan lagi. Mereka akan memasukan anak - anaknya ke sekolah yang exlusive lagi expansive, yang memberikan garansi protektif pada si anak, selama di sekola, menuju dan pulang sekolah.

Pernah lihat Lady Gaga nyanyi?
Jadi tidaklah heran, kenapa konser Lady Gaga terus dijadikan polemik. Itu adalah hasil dari pendidikannya.

Terakhir dalam dunia yang tidak steril ini, dalam mendidik dan membina bukan berarti harus mensterilisasi si anak dari pengaruh - pengaruh tidak benar.

Dalam pendidikan yang utuh, nilai pendidikan itu harus teruji mempunyai kekebalan yang nantinya menjadi imun yang menghasilkan sterilisasi dengan sendirinya pada si anak..

Singkatnya itu saja dan  terima kasih..

Semoga bermanfaat

No comments: