Tidak saling kenal maka tak ada apa - apa tak ada gembira, khawatir dan sedih karenanya. Awan mendung bukan berarti akan turun hujan, tapi sedia payung sebelum hujan adalah keputusan yang bijak.
Manusia mahluk sosial, segarang apa pun di hatinya terselip nilai kemanusiaan yang pernah ditanamkan pada waktu kecil dalam masa pertumbuhannya. Dan paling sederhana adalah nilai - nilai yang terekam pada saat usia balita hingga 17 tahun. Lalu pada perjalanan hidup berikutnya seiring persentuhan dan pertumbuhan sikologinya, terbentuklah kepribadian.
Kepribadian itu terbentuk dari proses perkembangan antara percampuran tabiat bawaan dengan pengaruh dari luar yang diantara keduanya saling berakumulasi mana yang akan nantinya mendominasi sifat - sifat kepribadiannya.
Tingkat kecerdasan kepribadian tiap orang berbeda - beda, ini sangat tergantung bagaimana seseorang dapat mengelola tingkat emosionalnya, sedangkan kemampuan dalam pengendalian tingkat emosional seseorang sangat ditentukan oleh hasil rekaman yang diterimanya dari pengaruh luar, terutama lingkungan pendidikan.
Masalah sosial dan kemanusian adalah essensi stabilitas ekonomi selain faktor alam, sumber daya alam dan keamanan. Manusia dianugerahi dua sisi sifat dasar baik, jahat, sadis, lembut dan lain sebagainya, keduanya tidak pernah muncul secara bersamaan, tergantung situasi dan kondisi ( sikon ) yang dihadapinya dengan kemampuan control yang tidak sama satu dengan yang lainnya.
Kemampuan kontrol diri tergantung seberapa besar daya serap seseorang dalak pengendalian emosionalnya, ketika itu didapatkan pada proses rekam jejak dari lingkungannya, baik lingkungan di dalam kemasyarakatan, yakni keluarga, masyarakat dan negara, maupun lingkungan pendidikannya.
Ketika hidup dalam persentuhan lingkungan tidak lagi dibatasi oleh wilayah, jarak pun sudah tidak lagi menjadi kendala. Perlahan tapi pasti globalisasi mengikis kebiasaan yang tadinya sedikit, menjadi beraneka ragam.
Bagi yang hidupnya slalu dinamis, pengaruh seperti ini sangatlah menguntungkan tak peduli mereka yang berbalut mental kejujuran maupun berkantung mental opportunis. Sebaliknya yang pasrah, maap, akan tergilas secara alamiah.
Mereka yang tergilas, mengklaster secara alamiah menjadi kaum marginal, dari sudut kacamata pengamat ekonomi yang disebut ekonom, mereka itu disebut masyarakat kelas bawah, yakni yang slalu berasumsi rasa, yakni merasa tersingkirkan dari pesta pertarungan hidup, yang sedikit kerja uang berlimpah.
Sebutan lain bagi mereka yang memandang sinis atau sedikit merasa jijik bersentuhan dengannya, mereka itu adalah sampah. Namun yang lebih menyakitkan lagi, Pemerintah menyebut SDM ini adalah Beban.
Sungguh sebuah statement yang sangat kontradiktif! China yang jumlah penduduknya hampir 1 milyar dan jumlah pendudak yang paling banyak di dunia menyebutnya mereka itu adalah aset, begitu pula Singapura, tapi negara itu bukan contoh kasus yang baik penduduknya sedikit sokongan dari berbagai negara - negara maju cukup dimanjakan.
Disini ada beberapa contoh kasus yang mungkin dapat membantu mengembalikan kesadaran kita, jika kita mau merenungkan kembali,bahwa keberadaan mereka sebetulnya bukanlah beban, artinya yang namanya beban itu apa saja yang bertengger di pundak yang membuat langkah menjadi terasa berat sebelah.
Contoh Kasus:
1. Para fans Iwan Fals,
Kebanyakan dari anak muda dengan keseharian dan tutur kata yang tidak akrab di telinga bagi para pelaku santun hidup.. serta dalam berpenampilan, penampilannya mencerminkan kebiasaannya. Mereka juga mungkin terbiasa bertutur kasar dan dapat dengan mudah berkata bahkan berteriak denga kasar, tapi mereka juga bisa dengan mudah menurut senurut-nurutnya, apa pun yang di katakan oleh sang IDOLAnya. Dan ketika alunan lagu di lantunkan oleh sang Idolanya, telinga mereka pun larut dalam iramanya mengajak mulut mereka ikut melantunkan lagu yang dibawakan oleh sang idolanya dengan penuh rasa dan penjiwaaan yang dalam.
Pembawanya yang lusuh, raut muka garang hasil tempaan dari kerasnya hidup, sekilas nampak sangar tatapannya, berapi - api saat mulutnya terbuka..itulah para fans IWAN Fal.. Namun dibalik itu semua mereka mampu dan sangat menikmati lagu-lagu yang di lantunkan sang IDIOLA, Iwan Fals, setiap liriknya pun mereka resapi betul.. Kita akrab sekali dengan dan mengenal betul lirik-lirik lagu IWAn Fals, sebagian besar bicara persoalan sosial dengan masalah dan harapannya..masalah manusia dan kemanusiaannya.. juga bertema cinta yang lugas dan jantan.
Jadi betapa menyentuhnya lirik dari lagu2 Iwan Fals, karena isinya sederhana mudah di cerna dan objektif menilai tentang hidup, sanggup membelah hati segarang apapun seurakan apapun hidupnya, artinya bicara sentuhan bicara rasa artinya ternyata setiap diri memiliki nilai rasa kemanusiaan, yakni rasa welas asih.
2. Hanya musibah karena Bencana alam yang membangkitkan rasa kemanusiaan
Mereka bisa tak saling kenal sebelumnya, tak pernah tahu tempat kejadian sebelumnya,namun ketika satu peristiwa bencana alam terjadi, mendadak terlecutlah setiap diri memikul pilu yang sama secara bersamaan, dan naluriah sikap sosialnya mendorong mereka menghimpun diri yang membentuk barisan yang dengan sukarela mengulurkan tangannya, dalam bentuk sumbangan dana dan tenaga. Masing - masing mengerahkan sesuai dengan daya kemampuannya, semuanya mengerucut ke dalam satu sikap saling merasakan saling berbagi saling kasih sayang tanpa harus mengenal sebelumnya.
Kalaulah kita pandai mengelola nilai-nilai kemanusiaan yang ada di setiap diri manusia, tentunya apa yang akan kita perbuat untuk diri keluarga dan bangsa adalah yang terbaik dengan setulus tulunya tanpa ada motivasi - motivasi yang macam - macam. Hidup ini sangat tergantung apa yang ditanamnya, artinya seberapa kualitas doa ketika bibit akan ditanam, kita hanya mampu mengerjakannya berdasarkan teori- teori terbaik, hasil akhir bukanlah menjadi urusan kita itu menjadi kewenangan sang Pencipta, selama doa selalu dikumandangkan setiap setiap waktu untuk menjadi yang lebih baik.
3. Hal yang dirisaukan dan sebetulnya tak perlu di risaukan
Problem sosial karena pengaruh globalisasi membuat hidup menjadi berlandaskan hedonisme spiritual yang mendorong hidup konsumtif, dan ini sudah terjadi menjadi kenyataan hidup masayarakat di setiap, baik di kampung-kampung, perumahan2 rakyat maupun perumahan2 elit/ real estate, di setiap sudut persentuhan pergaulan sosial maka terjadi saling memamerkan kemampuan dan kemewahannya,hal seperti ini sudah jadi budaya dan tidak perlu pula dirisaukan, bahwa yang demikian akan membawa dampak buruk pada tatanan sosial.
Juga dinamika hidup yang terus berjalan dengan semakin cepat, dinamis dan serba instan membuat masing - masing sudah tidak punya waktunya lagi untuk hidup bersosialisasi lebih banyak di tengah - tengah masyarakatnya. Dan hal ini pun di anggap sebagai satu bentuk ketidakpedulian sosial terhadap lingkungan. Seharusnya kenyataan hidup seperti ini harus dimaklumi bersama dan tidak perlu juga menjadi bahan pertimbangan serius, karena di setiap perkampungan dan perkotaan kepengurusan slalu ada dan slalu di bentuk melalui pemilihanyang rutin di lakukan secara berkala tergantung kesepakatan masa periode jabatan kepengurusan, di setiap wilayah tidak ada bahkan tidak pernah ada kemandegan kepengurusan artinya terjadi kekosongan orang - orang yang menduduki jabatan di kepengurusan tersebut, baik tingkat lurah, kepala desa hingga RW / RT. Mereka inilah sebetulnya yang harus aktif mengatur, mengarahkan, mengawasi dan mebina warganya, dan harus setia memantau setiap jengkal wilayahnya.
Dengan demikian jika kita mau melihat bahwa jumlah penduduk sebagai aset dasar untuk menjadikan Negara ini maju dan bermartabat, maka bukan hal yang sulit untuk mengerahkan dan memberdayakan mereka, namun ini semua kembali berpulang pada motivasi para pemimpin bangsa ini, baik di tingkat paling rendah, yakni RT hingga aparatur di tingkat tinggi dan tertinggi, yakni Pemerintah dan Instistusi lembaga tinggi negara dengan segala peralatannya.
No comments:
Post a Comment