Igauan Putri Tahun 2030.. See more
Anjuran German Pada Warganya... See more
Niaga Dari Sudut AlQuran...See more
Perspektif HardiknasSee more
Booking Tiket See more
Salah Benar Tentang HukumSee more
Menghayati Merdeka Dalam Pola Pikir Keramat See more
Karakter Asli Bangsa IndonesiaSee more
Polisi Brasil Menangkap Ketua EOC...See more
Keseleo Pengangkatan Menteri ESDM See more
-
Orientasi Pendidikan Nasional Masih Begitu See more
-
Konstalasi Politik Jelang Pilgub DKISee more
Agustusan Refleksi Penghambat Kemajuan...See more
Tanjung Balai Bukan Intoleran...See more
Jasa Pembuatan WebsiteSee more
Today RRC Great Leaf Forward EffectSee more
Tata Cara ShalatSee more
Jasa Sistim Akuntansi Dan PenggajianSee more
Jual Tanah 4.4 hektar di CiemasSee more
Pesan Tiket Pesawat, Hotel, Kereta Api, Event
Sebentar lagi idul adha dan sebagian umat islam sedang melaksanakan ibadah haj. Sudah hampir genap 5 tahun bertemu lebaran qurban, sebanyak itu pula potret DKI sama.
Sama sebelum lima tahunnya dan sekarang hampir genap lima tahun, bertemu banjir lagi. Kalau macet jangan ditanya.hehe..
Jadi sesumbarnya mampu menyulap dki tidak macet dengan teorinya yang sesumbar tidak malu berkata. Sesumbarnya atasi banjir sampai show up terjun ke gorong - gorong. Itu semua akting.
Kinerjanya yang terlihat sejauh ini tidak lebih jual beli tanah, sewa kos - kosan kandang baterai yang mereka sebut rumah susun. Rakyat kecil geser saja, cukup sama pakai baju perang mereka ketakutan. Trik jitu usir kaum proletar.
Siapa yang demen kaya gini?
Yang semodel itu adalah hampir semua pebisnis yang mengandalkan opportunity. Pebisnis di area comfort zone. Buat mereka yang penting ada pembangunan yang bisa masuk dompet mereka. Itulah yang disebut mufsidun.
Ibarat kucing yang mencuri makanan kucing yang lain yang lemah. Demi pembangunan itu yang selalu dijadikan otot untuk melemahkan yang tak berdaya.
Ini adalah oleh - oleh dari sebuah event, saya sebut event saja. Bukan pemilihan seorang pemimpin. Kenapa begitu?
Lihat ketika digelar debat. Ini mereka tiru seperti di amerika. Maklum bangsa yang latah. Jika musim a maka semua jualan a. Begitu dengan debat para calon. Sebuah event atau pagelaran tanpa konsep dibelakangnya.
Panelis bertanya pada masing - masing kontestan. Dan panelisnya saat itu punya besik pendidikan yang oke ditambah cukup tenar lagi. Mereka para panelis lihatlah sungguh menyusun pertanyaan, semua sudah dalam satu kerangka yang siap disampaikan.
Semua terpukau pendengar atas jawaban dari masing - masing kontestan dari pertanyaan panelis. Mereka bakal begini bakal begitu jika terpilih.
Lihat mereka enteng sekali dan berani sesumbar didepan panelis dan yang lainnya, mereka mampu atasi macet, mampu menanggulangi macet, menciptakan lapangan kerja.
Dan yang disampaikan termasuk mereka lampirkan caranya, kiatnya, programnya. Semua terpukau. Bertepuk tangan.
Sekarang hasilnya jauh panggang dari api, macet tetap macet, banjir tetap banjir, pemilihnya diusir dan lain sebagainya.
Jadi debat itu tidak lebih hanyalah sebuah event, didalamnya sedang bekerja para opportuniy di comfort zone area. Dari tukang melatih orator, tukang kampanye, tukang urus penampilan para calon dst. Termasuk pada saat event debat digelar.
Jadi kumpulan orang- orang yang peduli dengan dirinya tidak bagi orang lain kecuali ada yang lihat. Tangan dan seluruh tubuhnya siap membantu. Bila perlu dijidatnya mereka beri stempel " ikhlas".
Bangsa yang terus kian siap diajak hidup terpuruk. Dicekokik janji dan orasi mereka percaya. Apalagi disodori nasi bungkus dan selembar duit 100rb. Mereka siap gadaikan apa yang menjadi haknya hidup layak demi 100rb dan nasi bungkus.
Kondisi masyarakat miskin yang memang dicetak oleh bangsanya sendiri, membikin situasi hidup yang mereka hadapi, seperti mati segan hidup tak mau, seperti sudah pupus harapan hidup lebih berdaya di alam pikirannya.
Kondisi inilah yang membuat mereka percaya, bahwa jika ingin banyak duit perlu jadi tenar, itu jalan satu - satunya. Dan kalau mau tenar kudu bikin sensasi. Begitulah potret masyarakat la yamuutu fiha walaa yahya.
Mereka jadi begitu karena hak yang menjadi hak yang sebenarnya itu sudah dicuri, sudah dirampas oleh para pembagi nasi bungkus dan duit recehan.
Banjir di Kemang itu tampak banjir yang bukan berkurang tapi malah jadi mudah banjir.
Ini harusnya membentuk kesadaran bagi masyarakat yang terpinggirkan. Bahwa tidak ada pemilihan calon pemimpin daerah. Tapi yang ada adalah pemilihan calon opportunis baru. Demi status, demi hirarki, demi investasi.
Salam
Sama sebelum lima tahunnya dan sekarang hampir genap lima tahun, bertemu banjir lagi. Kalau macet jangan ditanya.hehe..
Jadi sesumbarnya mampu menyulap dki tidak macet dengan teorinya yang sesumbar tidak malu berkata. Sesumbarnya atasi banjir sampai show up terjun ke gorong - gorong. Itu semua akting.
Kinerjanya yang terlihat sejauh ini tidak lebih jual beli tanah, sewa kos - kosan kandang baterai yang mereka sebut rumah susun. Rakyat kecil geser saja, cukup sama pakai baju perang mereka ketakutan. Trik jitu usir kaum proletar.
Siapa yang demen kaya gini?
Yang semodel itu adalah hampir semua pebisnis yang mengandalkan opportunity. Pebisnis di area comfort zone. Buat mereka yang penting ada pembangunan yang bisa masuk dompet mereka. Itulah yang disebut mufsidun.
Ibarat kucing yang mencuri makanan kucing yang lain yang lemah. Demi pembangunan itu yang selalu dijadikan otot untuk melemahkan yang tak berdaya.
Ini adalah oleh - oleh dari sebuah event, saya sebut event saja. Bukan pemilihan seorang pemimpin. Kenapa begitu?
Lihat ketika digelar debat. Ini mereka tiru seperti di amerika. Maklum bangsa yang latah. Jika musim a maka semua jualan a. Begitu dengan debat para calon. Sebuah event atau pagelaran tanpa konsep dibelakangnya.
Panelis bertanya pada masing - masing kontestan. Dan panelisnya saat itu punya besik pendidikan yang oke ditambah cukup tenar lagi. Mereka para panelis lihatlah sungguh menyusun pertanyaan, semua sudah dalam satu kerangka yang siap disampaikan.
Semua terpukau pendengar atas jawaban dari masing - masing kontestan dari pertanyaan panelis. Mereka bakal begini bakal begitu jika terpilih.
Lihat mereka enteng sekali dan berani sesumbar didepan panelis dan yang lainnya, mereka mampu atasi macet, mampu menanggulangi macet, menciptakan lapangan kerja.
Dan yang disampaikan termasuk mereka lampirkan caranya, kiatnya, programnya. Semua terpukau. Bertepuk tangan.
Sekarang hasilnya jauh panggang dari api, macet tetap macet, banjir tetap banjir, pemilihnya diusir dan lain sebagainya.
Jadi debat itu tidak lebih hanyalah sebuah event, didalamnya sedang bekerja para opportuniy di comfort zone area. Dari tukang melatih orator, tukang kampanye, tukang urus penampilan para calon dst. Termasuk pada saat event debat digelar.
Jadi kumpulan orang- orang yang peduli dengan dirinya tidak bagi orang lain kecuali ada yang lihat. Tangan dan seluruh tubuhnya siap membantu. Bila perlu dijidatnya mereka beri stempel " ikhlas".
Bangsa yang terus kian siap diajak hidup terpuruk. Dicekokik janji dan orasi mereka percaya. Apalagi disodori nasi bungkus dan selembar duit 100rb. Mereka siap gadaikan apa yang menjadi haknya hidup layak demi 100rb dan nasi bungkus.
Kondisi masyarakat miskin yang memang dicetak oleh bangsanya sendiri, membikin situasi hidup yang mereka hadapi, seperti mati segan hidup tak mau, seperti sudah pupus harapan hidup lebih berdaya di alam pikirannya.
Kondisi inilah yang membuat mereka percaya, bahwa jika ingin banyak duit perlu jadi tenar, itu jalan satu - satunya. Dan kalau mau tenar kudu bikin sensasi. Begitulah potret masyarakat la yamuutu fiha walaa yahya.
Mereka jadi begitu karena hak yang menjadi hak yang sebenarnya itu sudah dicuri, sudah dirampas oleh para pembagi nasi bungkus dan duit recehan.
Banjir di Kemang itu tampak banjir yang bukan berkurang tapi malah jadi mudah banjir.
Ini harusnya membentuk kesadaran bagi masyarakat yang terpinggirkan. Bahwa tidak ada pemilihan calon pemimpin daerah. Tapi yang ada adalah pemilihan calon opportunis baru. Demi status, demi hirarki, demi investasi.
Salam
Informasi detail, dapat dihubungi di :
USD
IDR