Olimpiade London 2012 Indonesia pulang dengan hampa medali emas,namun sedikit terobati oleh cabang angkat besi yang menolong nama Indonesia tetap exist ada di papan daftar perolehan medali, sekalipun tertulis di ururtan sekian – sekian, rasanya segan untuk menuliskan
peringkatnya. Seperti kemaren dalam tulisan kemaren lalu atas hasil ini,
menanti bagaimana para pengurus koni, koi dan menpora menyikapi hasil ini. Dan kemaren – kemaren mereka satu persatu keluar dari peraduannya memberikan tanggapannya di beberapa media. Dan seperti yang sudah diduga pula sebelumnya, biarpun masing – masing isi pernyataannya itu berbeda, namun tetap sama, tidak jauh dari pernyataan sekedar untuk membentengi diri dengan macam – macam alasan yang dilampirkan dengan kambing –
kambing hitamnya.
Pada awal pertama kali bulutangkis masuk dalam cabang yang diperlombakan di Olimpiade, kalau tidak salah sekitar tahun 1992.Kala itu adalah kesempatan besar bagi Indonesia bisa masuk kedalam daftar jajaran negara yang mendapatkan medali dan lagu Indonesia raya bisa berkumandang megah di dengar oleh seluruh dunia. Mengingat pada saat itu pemain – pemain bulutangkis kita kebanyakan mereka adalah jawaranya dan merata, putra dan putri, terutama dengan adanya Susi Susanti, menjadikan peluang kita menjadi begitu besar untuk mendapatkan medali emas. Tak ayal lagi sebelum bertanding penulis sudah yakin, kalau mereka, pejuang – pejuang bulutangkis bakal mempersembahkan medali emas. Hasilnya pas seperti
yang diperkirakan sebelumnya. Walau sedikit meleset dikira Ardi B W atau Joko S yang bakal mempersembahkan
medali ternyata Alan Budikusma bersanding dengan pasangan sejatinya Susi Susanti. Ini adalah kado terindah bagi Indonesia.
Berbeda dengan satu dasa warsa
terakhir, waktu di olimpiade China 2008. Saat itu mungkin saja kita semua lebih banyak bersandar pada doa
dibanding rasa yakin itu sendiri,
walaupun akhirnya harapan itu dijawab oleh Taufik Hidayat. Ketika Taufik
mendapatkan emas, Taufik adalah satu – satunya pemain yang merasakan mungkin
estafet langsung bagaimana suasana para pemain yang pernah malang melintang
menjadi juara, seperti Alan Budikusuma,
Joko Suprianto, Ardi BW dkk. Oleh
karena virus mereka dalam kepiawayannya
menepuk kock maka jadi tidak heran kalau Taufik masih bisa mengharumkan nama Indonesia mempersembahkan medali emas.
Dan kali ini, di Olimpiade London
2012, lebih parah lagi. Jauh sebelumnya malah kita seakan sudah menduga hasilnya tidak akan menggembirakan, walaupun masih ada diselip-selipkan harapan – harapan. Cuma isi harapannya itu ini lebih condong adanya satu keajaiban, bukan berdasarkan realita. Bahkan sebelum pertandingan dimulai pun, mungkin kita semua sulit sekali untuk memperbesar keyakinan didalam dada, apalagi bersandar dengan doa sekalipun. Hal itu wajar terjadi pada siapa saja, mengingat kita sudah digambarkan itu oleh hasil dari prestasi sebelumnya. Dimana dengan ikhlas hati rela prestasi Indonesia di bidang olahraga kian melorot. Terutama
bulutangkis, dimana terakhir bukan sekedar lepasnya Piala Thomas Cup, tapi juga melaju ke final saja menjadi sulit. Jangan pula menyebut cabang sepakbola, di ujung kepalanya sudah berkepala dua, ibarat tubuh berkepala dua apa bukan itu termasuk mahluk yang cacat?
Lalu ditengah – tengah suasana
yang sepi prestasi dan hampir disemua cabang, masyarakatnya malah dihibur oleh segala tontonan. Mereka dimanjakan oleh berbagai event –event yang tidak lebih sekedar hiburan memuaskan hati, yang itu tidak ada nilainya pada pembinaan bagi atlit secara keseluruhan dalam bingkai program dan pembinaannya, oleh sebab tidak adanya pogram atau bisa dikatakan juga tidak sedikitpun itu akan berdampak pada peningkatan pembinaan kecuali sekedar project pengisi isi dompet eo. Salah satunya
ya seperti event sepakbola, terus didatangkan pemain top dan tim – tim sepakbloa spektakuler tingkat dunia. Kesemuanya hanyalah lebih memperjelas atas satu gambaran dari sebuah Negara yang tidak punya arah kecuali hanya sekedar rebutan jatah duit rakyat. Hal ini bisa kita lihat, sederhananya adalah komentar dari para pengurusnya sepulang dari London 2012.
Komentar ketua Koni di beberapa
media, bahwa kita kurang persiapan. Nah, kalimat ini kan seakan olimpade itu event dadakan jadi Koni merasa kurang waktu dan dananya. Alhasil pernyataan itu malah menunjukkan kepada kita kalau sebetulnya mereka itu tidak
bekerja. Ya karena kan Olimpiade itu sudah merupakan event tetap empat tahun sekali, artinya mungkin seratus tahun sebelumnya sudah tahu kalau 2012 akan ada event olimpiade. Kemudian komentar lanjutannya, bahwa berharap ada
perhatian lebih dari pemerintah, disini isinya duit. Kalimat ini pun sama, bahwa mereka itu memang tidak bekerja sama sekali. Dan kalau memang kurang dukungan dana dan tidak sesuai dengan rencana programnya, kenapa pula tetap terus dijalankan dan mengirimkan pemain/atlit kesana?
Bukankah mental seperti ini mental khas dari para pencari project dibanding mental dari seorang pencetak masyarakat berprestasi?
Komentar KONI itu diperkeruh lagi
oleh komentarnya bang kumis menpora yang selalu gumasep, katanya tidak sehat kalau hanya bersandar pada bulutangkis. Lalu jauh sebelumnya apa yang sudah dikerjakannya diluar bulutangkis?
Bukankah menjadi menteri bukan sebulan kemaren? Apa terlalu sibuk mencarikan dana untuk partainya sampai – sampai membangun gedung yang tak ada gunya itu menjadi prioritas utamanya?
Yang mana gedung yang kini
terbengkalai berkubang duit haram, sama sekali tidak ada gunanya bagi pembinaan
dan regenerasi atlit secara berkesinambungan. Satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah kata Pemuda yang disandang dalam kata menpora itu. Dengan hasil sebagai bukti konkrit dari sebuah kinerja menunjukkan bahwa kinerja menporanya itu hampir dipastikan tidak ada sama sekali. Lalu apa tidak dengan kinerjanya yang sibuk membangun gedung itu malah mendorong para pemuda Indonesia menjadi berprilaku oportunis dibanding pemuda yang siap berprestasi siap mental dan spiritualnya?
Begitulah apa yang kita saksikan
dari pernyataan – pernyataan mereka. Dan memanglah tidak tepat juga kalau dikatakan mereka itu tidak bekerja sebab, sebab jelek – jelek begitu mereka sudah bekerja dengan sungguh – sungguh dari kafe ke kafe, hotel ke hotel, dari pemda ke pemda, yang tidak lebih selain glamour juga saresehan biasa yang makan minumnya disana tidak cuma – cuma. Sangat menyolok perbedaannya dengan suasana latihan dan keseharian satu contohnya adalaha dari atlit – atlit angkat besi. Dalam
hal ini kita bersyukur masih ada seorang pelatih angkat besi yang punya obsesi besar memajukan olahraga itu.
Terakhir Negara ini membutuhkan
orang – orang pekerja keras yang punya obsesi, bukan orang orang yang mengeong
mengelus kaki meminta jabatan. Selama memang sampai dengan hari ini tidak
memiliki konsep apa – apa dalam bernegara kecuali sekedar berebut jatah dari duit rakyat yang terkumpul dalam
pendapatan penerimaan apbn/apbd. Masih sueenengkah dengan suasana seperti ini?
Sebagai penutup, buanglah
koruptor di tong sampah organik dan oportunis di tong sampah anorganik
Selamat menyiapkan hidangan sahur dan menjalakan ibadah Shaum.
Adios