Sebelum mengurai "pribumi non pribumi", penulis mengucapkan selamat atas pelantikan "Anies Baswedan - Sandiago Uno, pada hari senin sore kemaren, 16 Oktober 2017. Semoga dapat menjalankan amanahnya dengan baik sebagai Gubernur DKI.
Tengah ramai dibicarakan masalah pribumi dan non pribumi, setelah dalam kesempatan pidato Anies di acara pelantikkan kemaren. Pidato itu mengundang reaksi dari para Nitizens, termasuk juga penulis.
Jika menilik dari essensi dari kata "pribumi" pada pidato tersebut, sepertinya bangsa ini belum bisa melepaskan diri dari berbagai belenggi dalam dirinya. Belenggu ini yang menciptakan ledakan. Sehingga melemparkan kata atau kalimat yang berbau sentimen sebagai pelepasan relaksasinya. Sama halnya kondisi seperti ini juga bisa terrelaksasi dalam menyampaikan pujian.
Kata "pribumi" dalam pidato itu, meski tidak tersurat tapi jelas tersirat diarahkan pada masa pembangunan DKI oleh sebelumnya, persoalan keberpihakan. Inilah onak dalam pembangunan, selain mental korupt yang menjadi onak pembangunan. Onak pembangunan itu yang menghambat pembangunan itu sendiri, pembangunan manusia seutuhnya, menjadi manusia yang sejahtera bermartabat, saling hormat, menjunjung nilai - nilai kemanusiaan dan patriotik.
Pembangunan pada sebuah negara yang merdeka, sudah tidak lagi istilah pribumi dan non pribumi. Pribumi non pribumi hanya ada masa kolonialism. Apalagi di era sekarang, setiap orang dapat terhubung dengan siapa saja tanpa dibatasi oleh jarak dan wilayah. Sehingga persoalan identitas lebih kepada persoalan hak, kewajiban, administrasi dan kependudukan.
Apakah yang dimaksud "pribumi" disana, masyarakat lapisan bawah?
Jika itu, ini pandangan yang bukan hanya keliru tapi benar - benar tidak memahami arti pembangunan dalam wadah sebuah negara yang merdeka. Apalagi jika dikaitkan dengan Anies sendiri, ia sendiri bukan berasal dari pribumi, ia turunan Arab. Seperti menunjuk hidung orang, 3 kelingkingnya terkait pada diri. Jadi bukan cuma tidak relevan tapi juga memelihara sekam itu agar tetap membara dalam kobaran ketidakpastian tujuan bernegara.
Jadi wajar jika pidato itu mengundang reaksi. Atau memang sudah sedemikian hebat tekanan menjelang pilpres 2019. Jika ini persoalannya, ini jelas menggambarkan, disana sudah tidak lagi bicara pembangunan manusia seutuhnya, yang ada perebutan kekuaasan atas peredaran lalulintas duit. Pembangunan manusia seutuhnya hanyalah "lip's services".
Negara yang melontarkan kalimat, membuat aturan dengan kata pribumi dan non pribumi, adalah australia. Apa ini juga yang mempengaruhi sikap sebagian bangsa Indonesia?
Salah besar jika yang di maksud pribumi menunjukkan pada masyarakat kelas bawah, karena banyak pribumi juga pribumi berada dikelas atas, dan tidak sedikit non pribumi yang jadi gelandangan. Jadi lontaran "pribumi" yang menunjuk seseorang / kelompok, ini adalah onak pembangunan, penghambat pembangunan dalam arti mengundang instabilitas. Pembangunan tidak akan berjalan mulus jika negara dalam keadaan tidak stabil keamanannya. Berjalan mulus, bukan berarti mematikan atau meniadakan kritik sebagai fungsi kontrol dalam pembangunan.
Dalam sosialisasi, umat Islam diajarkan untuk mengucapkan salam setiap berinteraksi dengan yang lain. Ini adalah ucapan saling mendoakan, artinya satu dengan yang lain saling menghargai, itulah essensi Dinnul Islam, mengajak setiap diri untuk saling hormat dan saling bersenandung hidup bahagia dan sejahtera.
Dan selama setiap diri terbelenggu dengan persoalan dirinya maka kalimat - kalimat umum yang selalu menyeruak kepermukaan adalah kalimat pujian, sindiran, umpatan dan caci maki. Sering memuji juga bukan bentuk penghargaan lebih karena terpukau dan atau menjadi bintang iklan, yang diperbuat karena persoalan belenggunya masih dominan menjiwai dirinya.
No comments:
Post a Comment