Partai Golkar pernah menempuh jalan modern, namun berliku, dalam mencari Calon Presiden (Capres) Republik Indonesia. Yaitu, Konvensi Nasional Partai Golkar yang dilangsungkan pada 2003-2004. Peserta konvensi, antara lain, Aburizal Bakrie (ARB), Akbar Tanjung, Jusuf Kalla (JK), Prabowo Subianto, Sultan Hamengkubuwono IX, Surya Paloh, dan Wiranto. Bahkan tokoh sekaliber Nurcholish Madjid, Thabrani Rab, Marwah Daud Ibrahim, dan Tuty Alawiyah sempat mendaftarkan diri.
Sayang, konvensi itu berlangsung terlalu panjang dan melelahkan.
Ketika Wiranto ditetapkan sebagai pemenang konvensi dan menjadi Capres RI yang diusung Partai Golkar berpasangan dengan Calon Wakil Presiden Salahuddin Wahid, friksi merambah. Pasangan Wiranto dan Gus Solah ini kalah pada putaran pertama, bersama Amien Rais - Siswono Yudhohusodo dan Hamzah Haz - Agum Gumelar. Dua pasangan maju ke putaran final, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - JK dan Megawati Sukarnoputri - Hasyim Muzadi.
Guna menuju Pilpres 2009, Partai Golkar tidak lagi menggelar konvensi. Keterikatan Ketua Umum Partai Golkar yang sekaligus Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Presiden SBY begitu kuat. Sehingga, langgam politik mengikuti apa yang dimaui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sekalipun mengusung tagline ‘Lebih Cepat, Lebih Baik’, yakni Jusuf Kalla maju berpasangan dengan Wiranto, hasil-hasil survei sama sekali tak mendukung.
Lain halnya dengan persiapan yang dilakukan menjelang Pilpres 2014 yang sudah jelas tak lagi diikuti oleh Presiden SBY. Partai Golkar sudah mengambil ancang-ancang jauh-jauh hari, yakni mencalonkan Ketua Umum ARB. Tidak ada lagi ewuh -pakewuh, sekalipun ARB adalah menteri dalam kabinet SBY. Hanya saja, Partai Golkar kesulitan membangun koalisi sebagai syarat pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum. Satu peristiwa yang masih sangat menyerikan hulu hati bagi politisi Partai Golkar.
Guna menghadapi Pilpres 2019, Partai Golkar lebih santai. Jauh-jauh hari, Rapimnas Partai Golkar tahun 2017 sudah mematangkan arah untuk mengusung (Presiden) Jokowi sebagai Calon Presiden. Ketua Umum Partai Golkar saat itu, Setya Novanto, menyampaikan langsung keputusan itu dalam Rapimnas yang digelar di Balikpapan pada Mei 2017. Keputusan itu diperkuat dalam Rapimnas dan sekaligus Musyawarah Nasional Luar Biasa bulan Desember 2017 yang memilih Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum.
Kilas balik itu menunjukan betapa Partai Golkar punya konduite yang jelas ketika menetapkan Capres. Partai Golkar beepengalaman selama duapuluh tahun terakhir dalam menetapkan Capres. Bukan saja Capres, tetapi juga visi, misi, dan program yang hendak dijalankan. ARB, misalnya, dilengkapi dengan Visi Negara Kesejahteraan 2045 yang menjadi pedoman bagi Partai Golkar dalam menjalankan fungsi legislatif dan eksekutif.
Hardware Partai Golkar, berupa suprastruktur dan infrastruktur partai, dipersiapkan sejak dini guna menghadapi perhelatan penting itu. Begitu juga software Partai Golkar, berupa para anggota, kader, fungsionaris, pengurus, hingga simpatisan dan relawan, terus menerus mendapatkan pelatihan dan penugasan.
Partai Golkar pernah kehilangan kesempatan tahun 2014 guna mengusung Capres yang sudah melewati proses politik internal. Tak mungkin lagi bagi Partai Golkar untuk kehilangan tongkat kedua-kalinya, tahun 2024.
Konvensi Nasional Partai Golkar 2003-2004 telah menunjukkan, seberapa kuat armada Partai Golkar ketika bergerak. Proses politik membuat sejumlah tokoh yang maju konvensi, lantas mendirikan partai politik. Saya menyebut sebagai Partai Panca Bhakti dengan anggota Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Hanura, dan PKPI.
Selama dua puluh tahun ini juga, Partai Golkar sudah menunjukan jati diri, kapan bersikap sebagai sopir, kapan sebagai kernet. Atau kapan menjadi nahkoda, kapan menjadi mualim. Dalam posisi sebagai mualim, Partai Golkar sudah menunjukkan kinerja yang sungguh-sungguh, guna membantu nahkoda dalam menggerakkan Republik Indonesia. Bukan saja mualim dalam ruang lingkup legislatif, tetapi juga eksekutif, baik di pusat, atau di daerah.
Indonesia sedang bergerak menjadi negara makmur. Negara-negara lain yang berada di depan, seperti Amerika Serikat, China, Korea Selatan, Jepang, dan Russia, sudah melangsungkan proses demokrasi yang lama. Partai Komunis Tiongkok, misalnya, sudah berusia lebih dari satu abad. Cek sendiri usia partai-partai politik lain di negara masing-masing. Tanpa keunggulan partai politik di masing-masing negara itu, mustahil mereka sanggup menghadapi perubahan dan dinamika politik yang belakangan ini berlangsung bak angin putting beliung.
Dalam dua puluh tahun kehadiran Partai Golkar dalam pentas Pilpres itu juga Airlangga Hartarto berproses. Sebagian besar peran itu adalah kepanitiaan atau tim kampanye yang berurusan dengan keuangan atau logistik. Posisi sebagai Bendahara Umum atau Waklil Bendahara Umum begitu banyak dalam riwayat pengabdian Airlangga dalam tubuh Partai Golkar. Tentu, terlepas dari peran yang dilakukan sebagai anggota parlemen nasional.
Dalam kedudukan sebagai Nahkoda Partai Golkar, Airlangga sudah melewati angka lima tahun. Orkestrasi kepemimpinan Airlangga sanggup membangun soliditas ke dalam Partai Golkar, dan solidaritas ke luar Partai Golkar. Airlangga mampu membagi waktu dan peran, ketika menjalankan tanggungjawab sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Bukti dari segala bukti yang bisa diajukan adalah popularitas Airlangga yang sama sekali kecil, dibandingkan dengan Ketua Umum partai politik lain. Aksara keseharian Airlangga lebih banyak mengarah kepada lembaga-lembaga ekonomi dan moneter, baik di dalam maupun di luar negeri. Bahkan lembaga yang sudah masuk pada sebutan supra negara, seperti Bank Dunia. Aksara yang tentu saja tidak populis, bahkan di kalangan para pelaku bisnis skala mikro sekalipun.
Kesederhanaan Haji Agus Salim dan -- bahkan --kemelaratannya, sangat dikenal dunia. Tetapi, popularitas Haji Agus Salim juga mumpuni. Berbeda dengan Airlangga yang tentu saja nama yang paling disalahkan, ketika ekonomi terpuruk dan keuangan negara bangkrut.
Nah, manakala Airlangga hendak ditunjukkan kualitas kepemimpinannya sebagai Nahkoda Negara dan Pemerintahan, apalagi lewat pemilu yang demokratis, apakah itu suatu langkah yang muluk bagi Partai Golkar?
Lebih muluk mana jika dibandingkan dengan nama lain yang sama sekali tidak berproses selama dua puluh tahun terakhir dalam tubuh Partai Golkar?
Sungguh merupakan kekeliruan serius bagi Partai Golkar, jika mengusung kader partai lain, atau tokoh lain yang sama sekali tak berakar dalam Korsa Beringin dan Ikrar Panca Bhakti. Dan itu pada gilirannya, kekeliruan bagi bangsa ini yang memilih jalan demokrasi yang berbasiskan partai politik.
Jadi, hanya ada dua kata bagi Partai Golkar: Airlangga Melaju! Tentu, bersama Koalisi Indonesia Bersatu yang jauh-jauh hari dibentuk.
No comments:
Post a Comment