Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mengatakan, pemerintah harus mengedepankan kepentingan nasional daripada mengikuti kemauan asing terkait program Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dapat merugikan PLN.
"PLN dan pemerintah jangan mau didikte oleh pihak internasional untuk segera mempensiunkan dini PLTU-nya bila itu hanya merugikan Indonesia alias masyarakat para pelanggan listrik PLN," katanya.
Menurutnya, harus ada penggantian dari pendanaan internasional sejumlah nilai aset yang dipensiunkan dini tersebut, bila program tersebut akan dieksekusi.
Tanpa kompensasi, lanjut legislator PKS ini, maka PLN akan buntung karena harus menanggung resiko aset yg dipensiunkan dini tersebut secara sendirian.
"Ini kan tidak fair,"
Selain itu, kata Mulyanto, tekanan dan campur tangan asing terhadap pembangunan sektor ESDM, akhir-akhir ini semakin terasa. Mulai dari WTO yang memaksa pemerintah merevisi program hilirisasi mineral, hingga pemaksaan untuk mempensiunkan dini PLTU yang nilai asetnya masih sangat tinggi.
"Kenapa kita harus mengikuti kemauan pihak asing kalau ujung-ujungnya PLN atau masyarakat juga yang dirugikan. Kita kan negara yang berdaulat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan rakyat, jadi tidak boleh berlaku seperti inlander, yang mau saja dicocok-hidung oleh pihak lain," tegasnya.
Terpisah, Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengakui mendapat tekanan internasional untuk segera mempensiunkan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia sebelum tahun 2030.
Namun ia meminta, agar aset PLTU tersebut dihitung dan diganti dengan cash. Program Just Energy Transition Partnership (JETP), G20 memiliki komitmen pendanaan sebesar USD 20 miliar atau sekitar Rp 302 triliun (kurs Rp 15.100) untuk pensiun dini PLTU.
No comments:
Post a Comment