Tuesday, 12 June 2012

Sok Intelek

Sok Intelek
Bangsa Indonesia kebanyakan memaksakan diri ke intelek - intelekan. Itu tergambar dalam setiap penyampaian ataupun penulisan, selalu menyelipkan kata atau istilah asing. Entah apa yang disampaikannya itu sudah dimengertinya atau memang asal - asalan yang tidak difahami oleh dirinya sendiri. Dan bisa mungkin, apa yang dilontakannya itu tidak dipikirkan lagi maknanya kemana, yang penting kata - katanya keren, sehingga diomonginnya juga keren biar tambah beken, biar bisa dianggap orang, dirinya orang intelek. Mungkin saja begitu.

Seperti di kota Bogor ada spanduk terpampang tulisan Botani Garden. Saya tanya dimana itu, kata tukang asesoris, kebun raya.

Aduh..! Bayangkan kalau semua tempat disamakan padanan katanya dengan bahasa asing?

Ntar Gunung gede jadi big mountain, Cisaat menjadi drain river, dsb. Sampai nama sekolah, misalkan Sekolah Analis Kimia, biar keren mungkin jadi Analyst of Chemist Snappish High School dan banyak lagi contoh - contoh yang semodel itu yang sering kita jumpai dilihat, dibaca dan kita dengar.

Kalau nama tempat boleh dirubah menurut padanan bahasa, maka tentunya boleh dong liverpool jadi orang empang. Rocky mountain jadi gunung batu, jadi kalau dalam Pendidikan murid menjawab soal dari gurunya, liverpool fc dengan klub sepakbola orang empang, guru tidak boleh mencontreng salah. Terus New York jadi york baru.

Inilah bahagian dari kebiasaan dan menjadi ikutan pula oleh mereka yang ikut - ikutan yang tidak mengerti sama sekali maknanya, yang kalau sudah menyebutkan serasa sudah sejajar masuk dalam barisan orang - oramg intelek. Kebanyakan orang seperti ini suenang dipuja puji. Jadi jangan heran, karenanya banyak bangsa lain, negara lain senang di negara kita, karena gampang dikibulin. Sampai bangga terpingkal - pingkal bisa menulis west java, midle java, east java. Merasa punya jati diri sebenarnya sudah tidak punya jati diri.

Monday, 28 May 2012

Pusaran Sahara Timnas

Pusaran Sahara Timnas



Sudah lama tidak meraih prestasi, kini sejak ada perubahaan ditubuh PSSI, prestasinya malah makin memburuk. Ujungnya para pemain, dari mulai usia dini sampai ke tim seniornya menjadi korban atas polemik di tubuh PSSI. Korban penyekatan, tidak tersaring bukan tidak lolos tapi tidak sepihak. Korban hujatan, hujatan dari pecintanya karna buruknya prestasi. Dan pencinta bola di seluruh tanah air pun terbelah kedalam dua arus yang saling bertentangan dari pusaran yang terjadi di tubuh PSSI. Sebuah potret yang kalau diafdruk pun hasilnya tetap buram.

Buramnya prestasi ini tidak baik bagi perkembangan sepakbola itu sendiri, juga bagi pengembangan motivasi para pemain untuk meningkatkan skill mereka dan kerjasama tim. Hadirnya klub - klub besar dunia tak akan membawa manfaat yang significant buat timnas, karena pemain - pemainnya terpecah tadi, tidak dalam satu kesatuan hasil seleksi yang benar - benar objektif. Kehadiran klub - klub besar hanya mendatangkan hiburan bagi pecintanya dan mendatangkan duit buat pengelolanya. Dan buat pemain cuma mendatangkan kebanggaan karna bisa berlaga dengan klub itu.

Kebanggaan ini tentu bisa sebagai nilai lebih yang diserap sebagai bekal kemampuan individu dan mental bertandingnya, namun sulit diterap dalam satu tim, terbangunnya kebersamaan, kebersamaan yang bisa menyeiramakan kerjasama didalam tim.

Ya, bagaimana bisa terbangunnya kebersamaan tim, sekarangnya saja sudah dipastikan walau sulit dibuktikan, bahwa telah terbangun kecemburuan, kecemburuan yang bisa menjadi cikal bakal bentuk penanaman ketidakpedulian secara tidak langsung, munculnya sikap antipati secara tidak sadar. 

Siapa yang membangun ini? 
Ya, perseteruan di tubuh PSSI itu sendiri.

Kenapa bisa terjadi kemungkinan seperti itu? 
Ya, karena ada pemain - pemain yang dulu dilibatkan bermain dan pernah dieluk - elukkan oleh pecintanya, kini tidak lagi masuk daftar skuad. 

Kemudian nantinya bukan tidak mungkin pula nantinya akan dibuatkan event - event eforia tandingannya, selain model event yang sudah ada, baik event formal dan event tandingan formal yang sudah, ipl dan isl. Oleh karena kepala batu diantara keduanya, maka siapa yang menjadi tandingan atau yang menjadi aslinya sudah tidak jelas lagi. Perseteruan ditubuh PSSI itu yang mencoreng nilai eventnya, pantas tidaknya mana yang pantas sebagai event formal. Dan dalam mempertahankan pendapatnya, sikap anak kecil dari keduanya selalu menyeruak, bahwa masing - masing selalu membawa - bawa nama statuta Fifa. Disebut kaya anak kecil, bukankah kalau diantara anak kecil lag marahan atau berantem, selalu membawa nama jagoannya, yang nggak - nggak pun suka disebut.

Begitulah pusaran sahara timnas, nasib prestasinya diombang ambingkan oleh kekacauan di tubuh PSSI itu.

Dan yang disebut Tubuh PSSI, yaitu pengurus formal PSSI dan pengurus formal tandingannya, KPSI.

Sedangkan yang disebut pecinta bola, yaitu SPKTI, saya pecinta kopi tubruk Indonesia.

The end


Thursday, 24 May 2012

Mendidik Melayang Tiada Pijakan

Mendidik Melayang Tiada Pijakan
Lucu ya, ketika orang tua menjauhkan hp, games dan tivi dari anak - anak untuk membangun disiplin dan kreativitasnya. Lucunya, tivi, games dan hp itu tidak pernah jauh dari orang tuanya. Orang tua menikmatinya ketika anaknya tidak tahu atau sama - sama menikmati kalau orang tua suka acara tivinya atau boleh main games kalau dan kalau.. Dengan kata lain kenapa itu semua dibeli kalau anaknya tidak boleh? Atau ikut menikmatinya apa yang menjadi kesukaannya? Apa tidak kalau begitu orang tua terlalu egois?

Keinginan besar dari pikiran orang tua untuk mengaplikasikan satu model pendidikan ideal pada anak tapi menjadi kontradiktif. Kontras antara rasa sayang yang berlebihan dengan aturan disiplin yang sedang diterapkannya. Rasa sayangnya membuat orang tua slalu berusaha memenuhi kebutuhan tersier apa saja yang menjadi trend pada usia anaknya dengan mudahnya, tapi disisi lain ingin punya anak yang disiplin dan punya kreativitas. Kemudian dalam aplikasinya buah pikirannya, apa yang dibelinya untuk anak, boleh digunakan diwaktu tertentu terutama di hari libur, sementara orang tuanya boleh setiap hari. Dalam hal bermain diluar rumah juga dibatasi waktu dan aturan - aturannya. Bahkan mungkin lebih banyak larangannya. Dan lucunya, kreativitas yang diharapkan itu adalah kreativitas yang diinginkan orang tuanya, bukan dorongan keinginan / kesukaan awal dari anaknya. Dan itu diimplentasikannya melalui kursus - kursus keterampilan, seperti serasi namun ada yang timpang disini.

Ketimpangan dalam keseimbangan pemberian nilai pendidikan pada anak, tidak akan menghasilkan seorang anak yang persis seperti yang diharapkan orang tuanya. Mungkin kalau keterampilan pada si anak terbentuk, tapi tidak pada pembentukan karakternya. Karakter seorang ksatria yang memiliki rasa solidaritas lagi punya rasa kepedulian besar pada sesamanya (bagi anak laki) atau feminim yang bersahaja ( pada anaj wanita). Yang ada adalah melahirkan anak - anak yang egois, pemalu tapi sombong, pemberani tapi tak tau diri. Dan yang paling buruk adalah tidak memiliki pendirian yang agung dalam arti menjadi gampang ikut - ikutan.

Nah jika diminta untuk memilih diantara pengasahan bakat dan perkembangan jiwanya, tentu banyak yang lebih memilih bakat sebagai pilihan prioritas, sebab itu menyangkut penghidupannya kelak. Jadi itu adalah pilihan wajar. Namun pilihan itu menunjukan, mungkin ada hal yang terlewatkan yang tidak kalah pentingnya bagi para orang tua, bahwa manusia esensinya adalah mahluk sosial. Jadi dimana pun manusia berada, di tempat kerja, dalam keluarga, dalam organisasi dan di tengah - tengah masyarakatnya, ia tidak bisa melepaskan dirinya dari simpul - simpul ikatan itu. Dan simpul - simpul itulah yang akan membantu jalannya. Jalannya akan lebih mudah jika ia bisa bekerja atau diterima keberadaannya dengan baik. Sebaliknya simpul - simpul itu juga bisa mempersulit jalannya, jika ia tidak bisa bekerjasama atau tidak begitu diterima keberadaannya.

Alangkah lebih baiknya memberikan porsi disipilin menurut takaran usianya, porsi kreativitas menurut pilihannya, yang digenapi dengan keteladan dari para orang tuanya. Jika tidak ada keteladan, nilai pendidikannya tidak ada, buah usahanya mengetrapkan pendidikan menjadi sia - sia, seperti mendidik melayang tidak memberi titik pijakan, membuat anak melayang - layang dimainkan angin dan benang.

Barangkali ini bisa bermanfaat, kalau pun tidak sama sekali, ya abaikan saja dan habiskan kopinya…

Wednesday, 23 May 2012

Memaksakan Nilai Baik

Memaksakan Nilai Baik
"Hasil Pendidikan yang buruk adalah selalu mengajarkan nilai - nilai baik kepada peserta didik atau anak atau murid.. Sedangkan pendidikan yang baik mengajarkan nilai yang utuh, baik dan jahat, dengan segala akibatnya / ganjaran atas pilihannya"

Uraian pembukaan diatas sebagai kesimpulan dari realita yang ada, bahwa rusaknya moral sebagian besar anak bangsa akibat salah didik. Salah didik oleh karena pada orientasinya itu selalu mengedepankan pemaksaan nilai - nilai , yaitu hanya memaksakan nilai - nilai baiknya saja, tidak menyuguhkan dengan utuh dari sebuah nilai moral, yang baik maupun yang jahat, pilihan bagus atau pilihan buruk.

Pada orientasi pendidikan yang cendrung memaksakan nilai baik saja, kalaupun diberikan gambaran moral buruk, tekanannya lebih kepada untuk menakut - nakutinya agar si anak menjauh. Sementara dalam kenyataan hidupnya diluar dunia pendidikan, anak - anak disuguhi contoh riil ucapan, mimik / expresi, sikap dan perbuatan buruk, di jalan ketika pulang sekolah, ketika bermain, di rumah, dari internet, vcd dan media televisi.

Pendidikan timpang seperti ini memberikan andil besar juga didalam merusak mental bangsa, terutama kestabilan pilihan hidup dan dalam hal pengambilan keputusannya di setiap masalah. Karena tidak utuh mendapatkan informasi lengkap tentang akibat pilihannya, ujungnya mereka mencoba - coba apa yang tidak diketahuinya dan apa yang samar yang ia terima di bangku sekolah maupun dari orang tua.

Kita semua tahu, bahwa ada satu kenyataan riil dari satu cita - cita di setiap para orang tua, yaitu satu keinginan yang sama didalam mendidik anak, bahwa mereka berharap anaknya kelak memilih jalan yang baik didalam menempuh jalan hidupnya. Diatas dorongan keinginan seperti inilah yang kemudian menggerakkan setiap orang tua / pendidik / penyampai moral, didalam menanamkan nilai pendidikannya, menjadi cenderung dominan memaksakan nilai - nilai baik dengan segala perangkat pemagarannya.

Satu tingkat model pendidikan seperti ini seakan terlihat baik dan baik - baik saja ketika sudah berjalan. Apa yang dilakukannya sebagai pengukuhannya atas kesungguhan dari itikad baiknya. Disana orang tua/pendidik mau mengukir nilai baik, sama dengan mau memberikan penanaman pengaruh secara internal kepada si anak, agar kelak bisa tangguh ketika si anak berhadapan dengan dunia nyata, yaitu atas berbagai arus pengaruh eksternal, baik yang baik maupun yang buruk.

Maka atas dasar itu, tidak jarang orang tua/pendidik juga memasang perangkatnya sebagai bentuk pemagarannya, yaitu berusaha memagari si anak/murid dengan segala cara agar pengaruh nilai - nilai buruk/jahat/amoral tidak sempat masuk ke dalam penglihatan, pikiran dan hatinya.

Kenyataannya, hasil pendidikan semodel ini selain memperburuk dalam pembentukan jati diri kepada anak. Juga melelahkan bagi orang tuanya baik secara mental maupun kematangan berpikir.

Pendidikan yang dimaksud itu malah akan memperburuk pembentukan jati diri anak, oleh karena pada ujungnya nanti si anak itu sendiri yang nantinya menentukan jalan hidupnya. Ketika si anak ini masih dalam asuhan orang tua, dalam arti persentuhan dengan dunia luarnya masih minim dibanding dengan pengaruh dari orang tuanya, sebelum mencapai aqil baligh, si anak akan terbentuk dengan nilai - nilai baik itu dan dia akan menyenanginya, disamping si anak saat itu sudah tahu apa itu yang dimaksud dengan tidak baik dan ia juga tidak mau dengan itu.

Namun pembentukan karakter ini tidak akan bertahan lama, ketika ia diperkenalkan dengan pergaulan yang lebih luas, dimana pergaulan itu mulai mendominasi dalam kesehariannya didalam pergaulannya. Artinya waktu si anak bersama orang tua / pendidik-nya lebih sedikit dibanding pergaulannya.

Kemudian karena pergaulannya itu, mungkin saja yang tadinya buruk menurut pikirannya, yaitu pikiran dulu yang pernah ditanamkan oleh orang tua/pendidik secara memaksa, mulai ia ragu dan nyoba - nyoba sesuatu hal - hal baru atau yang dianggap tabu, ketika ia melihat itu pada sisi lain berdasarkan penilaian hasil dari pengaruh eksternalnya, baik dalam pergaulannya, ilmu pengetahuannya dan informasi - informasi yang berseleweran yang pernah ditangkapnya.

Dan ujungnya si anak mulai mencoba, mulai nyoba - nyoba menjajakinya dan akhirnya tidak sedikit yang memilih yang jahat baik, memilih apa yang dilarang sebelumnya oleh etika, norma dan agama secara terpaksa maupun karena kemantapannya.

Apa yang dilakukannya ini berangkatnya ada karena ketidak tahuannya, karena kematangan tingjat berpikirnya ia telah bisa menyimpulkannya sendiri tentang nilai jahat / buruk / amoral tersebut, ada juga karena benar - benar mencoba dan ketagihan ujungnya si anak terperosok dan sulit kembali ke keadaan semula.

Akibat pendidikan tidak lengkap ini, tidak sedikit pula, yang tadinya baik menjadi jahat. Walaupun ada juga yang tetap bertahan tidak mencobanya, itu bukan karena hebatnya pendirian yang telah terbentuknya, tapi kebanyakan itu oleh karena ketakutan - ketakutannya atau tepatnya karena keluguannya. Dan itu bukan karena diatas malunya.

Pendidikan seperti ini juga, bagi orang tua, sangatlah melelahkan, sangat menguras energi dan materi. Sebab meski mereka, para orang tua sudah memberikan pendidikan, namun tetap saja mereka selalu dihinggapi dengan kekhawatiranya atas arus luar yang akan mempengaruhi perkembangan bentuk berpikir dan kejiwaan si anak tersebut, yang karena kekhawatirannya malah membuat si anak terjerumus nantinya . Belum lagi nanti si anak menjadi sasaran pertanyaan - pertanyaan dari kekhawatirannya ketika si anak telat pulang, disamping ia juga terkadang sebagai sasaran empuk atas alibi dari dalih masalah pada pekerjaannya, yaitu si anak tak jarang menjadi korban pelampiasan orang tuanya atas segala masalahnya dengan pekerjaannya atau bermasalah dengan apa saja.

Pada Ujungnya untuk menjawab kekhawatirannya mereka para orang tua harus merogoh kocek lebih dalan lagi. Mereka akan memasukan anak - anaknya ke sekolah yang exlusive lagi expansive, yang memberikan garansi protektif pada si anak, selama di sekola, menuju dan pulang sekolah.

Pernah lihat Lady Gaga nyanyi?
Jadi tidaklah heran, kenapa konser Lady Gaga terus dijadikan polemik. Itu adalah hasil dari pendidikannya.

Terakhir dalam dunia yang tidak steril ini, dalam mendidik dan membina bukan berarti harus mensterilisasi si anak dari pengaruh - pengaruh tidak benar.

Dalam pendidikan yang utuh, nilai pendidikan itu harus teruji mempunyai kekebalan yang nantinya menjadi imun yang menghasilkan sterilisasi dengan sendirinya pada si anak..

Singkatnya itu saja dan  terima kasih..

Semoga bermanfaat

Thursday, 17 May 2012

Mei Dan Reformasi II

Mei Dan Reformasi II



Reformasi, yang dimaksud disana kembali ke formasinya, sama dengan melakukan perbaikan, melakukan pembenahan, melakukan pembaharuan. Sehingga semangat gerakan reformasi adalah semangat gerakan pembaharuan. Orangnya disebut reformist, yaitu pendukung gerakan pembaharu.




Reformasi memberikan isyarat, bahwa sistim ketatanegaraan yang sebelumnya tidak baik, maka diperlukan perbaikan. Namun, di masa itu tidak mungkin perbaikan dilakukan dengan cara - cara yang intelektual melalui forum ilmiah sebagai sumbang saran, juga tidak mungkin memberikan saran dan masukan kepada penguasa ORBA dalam suasana keIndonesiaan, yaitu asas musyawarah, mengingat rezim yang otoriter.


Jadi gerakan Reformasi yang massive sebagai jawaban yang kondusif, di tengah - tengah suasana yang tidak kondusif, baik dalam politik, hukum, ekonomi, sosial budaya dan hankam, akibat krisis moneter global. Dan jawaban itu pas momentnya, ditengah - tengah krisis moneter, dimana kondisi ekonomi saat itu dititik nadir, mengalami keterpurukan yang luar biasa.


Reformasi ini juga sebagai tuntutan atas hasil diujung perjalanan rezim ORBA, dimana menjelang di penghujung perjalanan rezim-nya pada akhirnya tidak juga memberikan jawaban dengan PELITA-nya.


Satu rumusan empiris mac iver menngatakan, bahwa kesuksesan sebuah sistim pemerintahan akan terukur setelah mencapai 25 tahun berjalan. Ketika melewati masa 25 tahun keatas, jika tidak ada peningkatan kesejahteraan yang nyata bagi sebagian rakyatnya, maka akan selalu terjadi gerakan masa yang massive.


Sebagai satu pembuktian terhadap ketidaksuksesan sistim pemerintahan dari rezim ORBA dengan PELITA-nya, yaitu diawali dengan munculnya percikan krisis moneter melanda Asia, pada saat itu rezime Soeharto tidak mampu mengatasi badai krisis moneter yang berimbas besar terhadap roda perekonomian yang sebelumnya begitu dibangga - banggakan dan disanjung - sanjung atas semua hasi pembangunan, baik berupa benda fisik maupun gaya hidup, peradaban dan kebudayaan.


Benda fisik, yaitu infrastruktur dan gedung - gedung megah di kota - kota besar. Dan gaya hidup, yaitu selera tinggi dalam standard hidup dan dalam orientasi pembangunan pabrikasi yang berskala internasional.


Walaupun dari kedua hasil pembangunan tersebut tidak ada yang salah, bahkan memang seharusnya begitu, sebagai tanda ujud dari sebuah keberhasilan.


Namun keberhasilan itu memberikan satu jawaban nyata sebagai sebuah kegagalan didalam pengelolaannya ketika itu berhadapan dengan masalah besar, yaitu krisis moneter. Pemerintah saat itu tidak mampu mengatasi serangan badai krisis dan laju pertumbuhan ekonomi pun benar - benar merayap.


Itu sebagai imbas besar akibat lumpuhnya roda perekonomian, dimana hampir sebagian besar perusahaan disemua jenis usaha, besar maupun berskala menengah, tidak mampu lagi bertahan dan bangkrut. Kemudian kondisi ini menjadi bagian dari "pemicunya" terjadinya gerakan reformasi.


Ekses dari setiap gerakan besar perubahan adalah selalu ada korban. Dan yang menjadi korban adalah rakyatnya. Sementara gerakan reformasi itu adalah gerakan yang menginginkan perubahaan terhadap sebuah sistim yang tidak lagi memberikan harapan, dimana rezimnya sendiri saat itu bertahan dengan status quo-nya.


Maka pergerakan dengan gerakan yang sangat massive menjadi satu - satunya solusi kala itu. Jadi dengan begitu bisa dikatakan gerakan reformasi 1998 itu merupakan gerakan reformasi yang revolusioner. Karena sudah terpenuhi persyaratannya, yaitu gerakan untuk menjebol yang lama membangun yang baru.


Sayangnya gerakan ini setengah hati tidak tuntas, tak senilai dengan banyak korban berjatuhan. dengan kata lain dilakukan dengan aksi damai, yaitu diakhiri dengan kompromi.


Mungkin para reformis beranggapan dengan lengsernya Soeharto, perjuangan mereka sudah cukup dan final. Itu terbukti, ketika sambutan riuh membahana termasuk oleh para tokoh utama sesepuh reformasinya. Sehingga tidaklah salah kalau dikatakan, agendanya cuma menjatuhkan rezim Soeharto. Jadi tidak ada koreksi secara menyeluruh kepada akar masalahnya, yaitu peninjauan pada akar masalahnya.


Akar masalah ini pada sistimnya. Sistim yang telah melenakan Soeharto seperti di era orla, pengukuhan presiden seumur hidup telah melenakan Soekarno. Dan realitanya tidak pernah sistim yang ada ditinjau ulang dari berbagai sudut tinjauan.


Peninjauan ulang dan pembedahan sistim, mulai dari konstitusi yang menjadi ruh sistim itu sendiri, ketetapan sebagai perangkat hukum hingga regulasi di setiap institusi negara sampai pada tingkatan paling bawah yang ada di daerah.


Maka jangan heran, tidak ada perubahan sistim, sekalipun dilakukan amamdemen terhadap UUD-nya. Kenyataan inilah yang dimanfaatkan betul oleh para pengikut setia rezim 0RBA, yang mana hampir semua pengikut rezim, kemudian bermetamorfosi kedalam berbagai partai baru, seperti partai beranak pinak, seperti mutan yang bermutasi dalam ujud yang lain dengan niat yang sama mengejar singgasana dan pengaruh. Sedang yang sebagiannya memilih setia menetap dengan jubah kuningnya.


Kondisi seperti ini, bisa dikatakan status quo, yang menyebabkan tidak ada forum bedah ilmiah menuntut akar permasalahan kegagalannya dikupas dan dibuatkan jalan keluarnya. Tidak perlu harus cepat jika ini membutuhkan waktu, minimal ada usaha ke arah perbaikan.


Karena tidak ada perbaikan, maka yang terjadi adalah saling menahan diri dan melanjutkan saja. Pada masa ini mereka tindak lanjuti setelah lengsernya Soeharto seperti pembagian kue buat dedengkot reformis, amin rais jadi ketua mpr, gusdur jadi presiden dan mega jadi wakilnya. Dan orang - orang yang berjaya di era rezim soeharto, ikut masuk dalam barisan.


Pada masa inilah yang diklaim sebagai masa transisi, tepatnya ketika Habibie menjabat Presiden hingga laporan pertanggungjawabannya ditolak, dibalik layar mereka bikin kue kekuasaan seperti mendapatkan durian runtuh. Sementara diluar bersorak - sorai kegirangan seakan sejak dititik itu Indonesia akan lebih baik lagi kedepannya.


Kenyataan itulah, yang bisa dilihat sekarang setelah sudah lewat satu dasawarsa lebih, lebih dari selusin tahun, namun tidak ada perbaikan yang significant, bahkan kejahatan kerah putih kian merajalela yang hampir sama banyaknya dengan kejahatan dijalanan, itu tidak ada bedanya ketika di masa rezim 0RBA. Revolusi itu hanyalah menghasilkan Revolusi Balik Nama saja.


Mei dan reformasi, reformasi yang telah diteladani oleh Ki Hajar Dewantoro, dengan tekun mengabadikan diri selama hidupnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu yang kian mengukuhkan kekuatan kesantunan dalam keseharian prilakunya, yang menobatkan kepada dirinya sebagai negarawan.


Untuk menjadi Negarawan seperti itu tidak dibutuhkan yang otak encer dan pandainya bersilat kata. Kecakapan budi pekerti melahirkan tutur kata yang bijak, memancarkan gerak yang santun bijaksana. Itulah gerakan reformasi dari Ki Hajar Dewantoro. Dan kerjanya dihargai oleh masyarakatnya dan tokoh - tokoh Nasional saat itu.


Sedang kondisi sekarang cukup dengan jualan kecap sayur. Hanya dengan jualan kecap sayur mereka bisa dipilih jadi yang berkuasa.




Wednesday, 16 May 2012

Mei Dan Reformasi

Mei Dan Reformasi

Tak terasa sudah 12 tahun peristiwa reformasi telah berlalu. Dan yang teristimewa puncak peristiwanya terjadi di bulan mei 1998. Bulan mei seperti "may" dalam bahasa inggris diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi semoga atau mungkin atau boleh, sehingga dapat diidentikan bulan mei itu sebagai bulan yang harapan dengan berbagai kemungkinan upaya penerobosannya.

Menyambungkan satu makna pada kata yang berbeda yang hampir mirip sebagai asumsi dibolehkan menurut logika berpikir yang memenuhi nilai - nilai kemanusian. Barangkali begitu, jika ini dilihat dari peristiwa sejarahnya bangsa Indonesia, yang terjadi di bulan mei 1998. Teristmewanya lagi adalah dihiasi dengan terjadi peristiwa – peristiwa tentang pembentukan jati diri bangsa.

Satu peristiwa pembentukan jati diri bangsa, diawali oleh peristiwa sejarah yang disebut dengan perintis kemerdekaan, sebagai satu bentuk keinginan yang bulat untuk hidup bersama kedalam satu bangsa, yaitu berdirinya Boedi Oetomo, ini juga terjadi di bulan mei. Kemudian lahirnya organisasi kebangsaan itu diperingati sebagai hari kebangkitan nasional, setiap tanggal 20 mei .


Selanjutnya, lahirnya Bapak Pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantoro juga di bulan mei, tepatnya setiap tanggal 2 mei, peringatan Hari pendidikan Nasional itu dijadikan momentum sebagai semangat kebangsaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mencontoh kepada semangat dan pergerakannya yang telah dirintis oleh Ki Hajar Dewantor, dengan satu semboyannya yang sangat indah, tajam dan sarat keteladanan, yaitu “ing ngarso sung tulodo ing madyo mangun karso tut wuri handayani”.


Semboyan itu adalah sebagai bentuk dari buah pikirnya selama mengabdikan dirinya didalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian semboyan itu dijadikan semboyan bagi Pendidikan Nasional hingga sekarang.


Sampai disini dari dua peristiwa itu, telah sedikit memberikan gambaran satu keinginan yang sama dari semua komponen bangsa, yaitu keinginan bersama, maju bersama dalam satu ikatan bangsa dan negara, didalamnya saling menjaga martabat dan kerukunan hidup yang menjunjung nilai – nilai keteladanan hidup dalam satu bingkai yang sama, yaitu mencapai tujuan dan cita – cita yang sama.


Kemudian juga dari dua peritiwa itu, dilihat dari sisi lain, berangkat dari keinginan luhur diatas, adalah sebagai bentuk pemberontakan. Pemberontakan secara Ilmiah, yang mengedepankan nilai – nilai Logika berpikir, bukan diatas dorongan semangat frontal yang radikal, anarkis yang non Illmiah. Pemberontakan terhadap realita yang dihadapi dari segala bentuk pembodohan dan penindasan masal intelektual, terhadap saudara sebangsa dan setanah airnya, yang telah memperkosa nilai – nilai yang memenuhi harapan kemanusiaan.


Hal yang mei atau mungkin perlu diperingati adalah ketika nilai – nilai kemanusiaan ini mulai dilanggar dan ketika pula pergerakan – pergerakan perlawanannya mulai dominan memenuhi setiap isi kepala di setiap kepala anak bangsanya, maka ledakan itu tak kan bisa dielakkan lagi. Seperti Peristiwa Reformasi selusin tahun yang lalu, juga di bulan mei, terlepas dari berbagai pernak – pernik yang melatar belakanginya dan hasil dari reformasi selama selusin tahun itu lebih, dari tahun 1998 sd sekarang, baik atau buruk atau stag.


Itu intinya. Sebab sebagai manusia mahluk sosial adalah mahluk yang paling mulia, yang ingin dimulyakan dan memulyakan hidup, dirinya dan orang lain.


Bulan mei seperti awal pembukaan dan penutup disetiap perjalanan bangsa Indonesia, seperti dijalur pendidikan nasional, pendaftaran dan kenaikan kelas, tingkat terjadi diantara bulan mei.

Sunday, 13 May 2012

Final Piala Champion 2012

Hampir seluruh pecinta sepakbola sejagad sudah memprediksikan final piala champion nanti bakal mempertemukan Real Madrid vs Baecelona, tak terkecuali saya dan pengurus FIFA.  Pengurus FIFA  sudah memplot kocokannya dengan sangat cantik waktu mau masuk ke babak perempat final, dimana kedua tim favorit tidak bertemu hingga partai final. Namun apa dikata, harapan berkata lain. Chelsea dengan mengadopsi  strategi catenacio sukses membendung Barca dan Bayer  berhasil memaku ronaldo Cs.

Banyak yang terpaku,, banyak yang  tak mengira, banyak yang kecewa, banyak juga yang senang.  Tak sedikit  jua diantara mereka yang senang  tim kesayangannya menang maupun yang kecewa jagoannya keok, tak sedikit yang dibumbui dengan memberikan argumentasi - argumentasinya dengan bebagai alasan yang tidak masuk, lebih karena diatas penilaian rasa kecintaannya. Sama seperti komentator yang cakap bicara tapi tak pernah berbuat yang sama , bahkan prestasi yang sama. Komentator yang tidak lagi sekedar sebagai sejawat reporter yang membuat pertandingan tidak dingin dan sepi,  tapi sudah seperti pernah mengalaminya ataupun seolah selalu ikut bersama pelatih dari tim yang sedang bertanding, ketika pertandingannya berlangsung.

Pertandingn langsung final piala Champion nanti juga sudah dipastikan bakal diramaikan kembali oleh para komentator dengan komentar – komentarnya yang berapi – api yang tak ada apinya. Tapi yang pasti laga Final akan digelar kalau tidak ada aral dan rintangan.  Laga Final  nanti tetap bakal menarik, meski tidak ada  pemain mega bintangmya. Inini  adalah final Ideal .

Final  Chelsea dan Bayer Munchen, laga  yang akan dibumbui oleh perseteruan dendam lama antara tim Inggris dan German.  Satu catatan saja, melihat dari jalannya semifinal kemaren dan pertandingan   dari kedua tim. Chelsea  mengedepankan focus dan seriusnya, sedangkan  dan Munchen dengan mengedepankan ketenangan. Keduanya sama – sama dipecundangi di laga lokalnya.

Bayer Munchen sedikit lebih diunggulkan diunggulkan karena menjadi tuan rumah.  Tapi bagimu, terserah apa katamu, mana yang kan kau pilih ataupun tidak memilih. Izin kan saya untuk  meng-unggulkan Bayer Munchen. Bagimu terserah apa katamu.. Namun pilihan itu akan terus berubah sampai dengan hari ha.  Satu yang tidak akan berubah pisgor dan kopinya.

Thursday, 10 May 2012

Amoral Seorang Bapak

Amoral Seorang Bapak

Dari semua peristiwa tindak kejahatan, yang paling tidak bermoral adalah kejamnya seorang bapak menghamili anak kandungnya sendiri. Biadab.


Membaca berita ini, membuat makan tak berselera, ingin rasanya memecahkan kepala si bapak yang amoral itu. Meski anak itu bukan anak kandung saya, bukan saudara sedarah ataupun sanak familiy. Tapi kemarahan dalam ikatan satu bangsa.








Apa yang menimpa anak sekecil itu, terasa menusuk ulu hati. Dan Si bapak berhak melemparkan ayat - ayat setannya sebagai alasan pembelaannya, tapi itu tidak akan mengubah stempel amoralnya, biadabnya. Perbuatannya tak termaafkan.


Perbuatan seperti itu, tidak bisa disalahkan oleh karena pengaruh external oleh eforianya sex bebas, prilaku sex menyimpang dan problem penyaluran sex, tapi sekalipun demikian, tidak bisa dipungkiri itu juga ikut mewarnai yang melatarbelakangi birahinya.


Didalamnya sudah bertumpuk antara minimnya bekal pendidikan, status sosial, perlakuan sosial dan pengaruh sosial. Dan itu tidak bisa diurai lagi untuk dibedah, mencari yang menjadi penyebab utama prilaku menyimpang yang amoral.Itu sudah satu kesatuan yang melebur seperti makanan baru yang bantat, keras dan kesat rasanya.


Walaupun hukuman berat sudah dijatuhkan sebagai ganjaran, namun itu tidak akan mampu mengembalikan suasana kejiwaan anaknya hingga ia tumbuh dewasa.


Walaupun semua pihak telah menyaksikan imbalan hukum, mereka semestinya sadar ini adalah masalah besar yang tersembunyi yang bagaikan gunung es.


Tindakan yang diperlu kedepannya, yang terdekat adalah menyelamatkan anak sebagai korban. Memulihkan traumanya, membangkitkan semangat hidupnya, meyakinkan kembali harga diri dan keceriaannya yang telah hancur meledak berkeping - keping oleh kebiadaban seorang teroris terhadap kedaulatan keluarga, yang seharusnya melindungi, mengayomi dan menafkahinya jika memang tidak bisa mendidik dan membina.


Langkah kedua, si anak juga harus dioperasi, mengangkat janin jika ada yang jadi, sama seperti mengangkat tumor, bukan membiarkan anak yang didalam kandungannya dibiarkan tumbuh. Sebab itu malah akan merusak perkembangan kejiwaan si anak yang mau dipulihkan kepercayaan dirinya.


Ketiga, andil besar Pemerintah dalam kasus seperti ini adalah segera membuat program konkrit pemerataan kebutuhan pendidikan dan penghidupan ke segala pelosok di wilayah NKRI, melibatkan semua struktur aparat dan komponen masyarajat. Jangan ada satu warga negara pun yang luput dari perhatian.


Perhatian dalam kebijaksanaan bukan diatas keprihatinan ataupun kecurigaan atau atas nama kemanusiaan a, c ,d pada pelaku. Sebab ini adalah masalah bangsa yang konkrit, masalah generasi.




Wednesday, 9 May 2012

Peranan Orangtua Mendidik Dan Membina Anak

Peranan Orangtua Mendidik & Membina Anak

Judulnya sudah tidak aneh ya... Sudah sering didengar, sering dibaca, bahwa dalam mendidik anak tidak cuma cukup hanya sekedar memberinya kebutuhan hidup saja. Bahkan mungkin diantara kita juga pasti ada yang sudah menerapkannya dengan baik.






Tapi tidak apa - apa juga kan kalau menulis lagi tentang ini?


Mudah - mudahan ada manfaatnya, ada sesuatu yang baru yang bisa diambil dalam tulisan ini.


Dan tulisan ini juga menyambung dengan tulisan saya tentang "Insting Bringas", judul itu berangkat dari kegetiran membaca berita atas peristiwa pembunuhan kakak kandung sama adik. Pada tulisan disini lebih diperjelas ke sasarannya, tapi bukan tentang peristiwanya yang mau dikupas, tekanannya pada sebab akibatnya.


Nah dalam hal ini mau mengupas tentang bagaimana peranan orang tua mendidik dan membina anak menjadikan si anak kelak besar berlaku seperti doa orang tua ketika anak baru lahir.


Peranan orang tua didalam mendidik dan membina anak itu menjadi sangat menentukan didalam pembentukan mental dan kepribadiannya. Walaupun ada juga pengaruh besar dari lingkungan dimana si anak tumbuh besar ( baik yang buruk maupun yang baik ), serta sifat - sifat yang melekat bawaan lahir.


Pengaruh - pengaruh itu bisa dikelola dengan baik jika orang tua memberikan porsi besar mengambil peranannya dalam mendidik dan membina anak. Sebaliknya jika tidak begitu, maka si anak akan digulung dengan pengaruh - pengaruh luar yang tiada henti datang bertubi-tubi dari segala penjuru, lingkungan, media. Bersyukur kalau yang diserapnya pengaruh baik saja, tapi kalau pengaruh buruk ?


Bisa - bisa sesal kemudian tak mungkin dikembalikan. Disini yang harus diperhatikan dan dipahami adalah pengaruh - pengaruh dari luar ini tidak bisa dihindarkan. Dengan begitu, kita sebagai orang tua dapat menyadari, dalam mendidik anak itu tidak cepat memberikan batasan - batasan geraknya atau dicecar dengan larangan yang ujungnya jadi sering mengumbar kata - kata larangan. Ini selain tidak akan menghasilkan terbentuknya karakter anak yang kelak besar siap mamdiri pada saat memasuki usia sekolah, sebaliknya hanya akan membuat kita jadi uring - uringan dibuatnya.


Kenapa demikian?


Sebab semakin sering kita menanamkan pada anak larangan, itu akan mematikan kreativitasnya yang sedang tumbuh dan mesti diasah. Tumbuh berkembangnya kreativitas pada anak itu tidak akan berjalan dengan sendirinya, harus ada yang lain yang menuntunnya,  harus ada orang lain yang membantunya, hingga si anak terlatih dan terasah. Itu yang disebut diarahkan bakat dan


Dalam mengarahkan ini dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Dan kalau kita kurang sabar dan telaten, jangan kaget nantinya. Sebab tidak jarang malah akan membuat si anak tidak betah dengan apa yang sedang dikerjakannya, karena pada usia tersebut apa yang dilakukan anak itu sekedar coba - coba, sekedar ingin tahu saja. Jika pada fase ini jika terlewati jangat kaget lalu si anak menjadi lebih mengakrabi pengaruh dari luar.


Sederhananya, ada beberapa point yang harus diupayakan untuk dihindari sebagai langkah:


  1. Tidak membanggakannya atau mengeluhkannya pada orang lain, apalagi didepan si anak.

  2. Tidak memarahinya didepan saudaranya apalagi didepan umum

  3. Tidak ikut campur apalagi membelanya ketika si anak berkelahi dengan temannya.

  4. Membiasakan kepada si anak untuk segera minta maap pada temannya jika lagi berselisih.



  5. Perhatikan perkembangannya dari kejauhan, tidak lekas curiga dengan aksi perubahan sikap si anak dan menegurnya.

  6. Jangan terlalu sering memerintahkan anak untuk belajar.

  7. Berikan hukuman jika si anak melakukan kesalahan, tapi tidak memberatkannya disesuaikan tingkatan usianya, diikuti dengan memberikan peringatan.

  8. Jangan sekali - sekali keluar kata perintah kepada si anak ganti dengan kata permohonan "bisa tolong / bantu"


Demikian, semoga ini bisa diterapkan oleh orang tua dengan segala status sosial ekonominya. Tapi poin - poin diatas juga akan gugur bila tidak ada ketauladan dari kedua orang tua dan tidak ada kerjasama yang baik dari ayah dan ibunya dengan kadar sayangnya yang tidak seiring diantara keduanya.

Friday, 27 April 2012

Rumah Tinggal

Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang pesat sebagai tanda tegaknya kedaulatan Negara. Kedaulatan ini harus di imbangi dengan arah pembangunan yang jelas bagi terciptanya perputaran ekonomi yang dinamis dengan memaksimalkan sumber alam dan sumber daya manusianya yang didalamnya didorong oleh sistim pengupahan yang layak hidup kearah sejahtera. Jika tidak, Kedaulatan itu hanya sebatas kemerdekaan tinggal dan berserikat. Mendorong rakyat untuk berkompetisi adalah baik dan sangat dianjurkan, sebab itu dapat memacu peningkatan kemampuan potesinya. Namun, membiarkannya berkompetisi tanpa ada pembinaan, arahan dan kontrol dari pemerintah, memicu terciptanya hukum rimba, manusia satu dengan yang lain saling bergesekan tak terkendali. Satu tingkatan kondisi itu dapat menguntungkan pemerintah, mengurangi beban. Tapi pada 3 tingkatan diatasnya, dalam jangka panjang, membuat dinamika ekonomi menjadi stag, berkutat dilingkaran tertentu. Tentunya ini memberikan peluang besar bagi terciptanya persaingan yang kian tidak sehat, menumbuhkan bibit gangster - gangster yang siap membunuh siapa saja. Dan ini sudah terjadi, contoh - contohnya banyak, Parpol salah satu gangsters formal. Itu semua adalah hasil dari pembangunan sebelum - sebelumnya. Dan ujungnya terus terjadi tolak tarik.

Tolak tarik pembangunan sudah pasti menghambat cita - cita Negara, membuatnya tidak pernah menunjukkan peningkatan yang significant, slalu tertinggal 2 langkah dengan negara tetangganya, bahkan oleh negara Vietnam sekalipun. Disamping itu memperburuk norma - norma kaidah hidup yang selaras etika peradaban yang memenuhi harapan kemanusiaan dalam ikatan berbangsa dan bernegara. Kembali muaranya adalah akibat tidak jelasnya arah, tumpang tindihnya pengaturan, hingga mengabaikan jeritan suara rakyatnya.

Bagi Rakyat, negara menjadi rumah tinggalnya. Yang dibutuhkan mereka bukan dibuatkan tempat tinggal, sebab tempat tinggal itu adalah hak asasi. Berdirinya tempat tinggal sepadan dengan kesejahteraannya, artinya ditentukan oleh tingkat kemampuan finansialnya. Kemampuan finansial ditentukan oleh pekerjaannya. Berikan pekerjaan yang diupah pantas layak hidup, bukan alakadarnya diatas belas kasihan (sisthm upah buruh harian/bulanan lepas yang menyayatkan) dan mengukur tingkat pengabdiannya ( sistim upah honorer cpns yang menganiayakan). Sebab itu adalah bagian dari bentuk penyelewang Pemerintah pada Negara, melakukan pembiaran dan pengabaian terhadap satu unsur dari negara, sdm.

Tuesday, 24 April 2012

Tawuran Bagian Dari Budaya Bangsa

Tawuran Bagian Dari Budaya Bangsa
Perkelahian masal atau akrab sering disebut tawuran, jadi sering terjadi. Tawuran bukan lagi satu - satunya menjadi milik pelajar. Ada tawuran antar kampung di beberapa tempat masih dianggap rawan terjadi letupan - letupan. Ada tawuran antar suporter bola, suporter bola dengan warga. Tawuran antar geng. Dan yang semodel dengan tawuran, pertikaian sengketa lahan... dan masih banyak lagi.. dengan bermacam peristiwanya. Itulah potret sisi kelam di negeri ini.

Melihat kenyataan sisi kelam ini, layak untuk kita berlapang dada, kalau tawuran itu diakui sebagai bagian dari budaya bangsa kita. Tawuran merupakan expresi dari bentuk semangat kebersamaan, peleburan dari rasa solidaritas. Tentunya, ujud dari kebersamaan, kebersamaan  pada sisi negatif dari sebuah kehidupan sosial budaya, yakni sebagai bentuk penyimpangan dari kaidah normatif yang telah dinormakan. atau penyakit buruk prilaku sosial atas sebuah pemahaman rasa solidaritas.

Pengecualian untuk tawuran antar pelajar dan tawuran antar suporter, secara umum, inti yang melatarbelakanginya adalah persoalan adanya ketidakadilan atau menganaktirikan. Dan mudahnya mereka terpancing kedalam kemarahan masal oleh sedikit letupan (gampang terprovokasi) diatas semangat kebersamaan pada sisi negatif, secara kasat mata bisa dilihat suasana keseharian dan ruangan di wilayahnya. Secara umum adalah masalah status sosial dan tingkat taraf ekonominya, diatas kondisi itu terbentuk rasa yang sama senasib seperuntungan, dimana rasa ini mudah sekali meledak kapan saja ketika menyentuh ke persoalan rasa dan harga dirinya. Kemudian diterjemahkannya kedalam tindakan  masal sebagai ungkapan kekuatan harga dirinya, yang mereka sebut itu adalah bentuk  dari rasa solidaritas.

Doeloe ada tawuran antar kampoeng yang sudah terus menerus dari generasi ke generasi, sudah seperti tradisi musim - musiman. Tapi sudah tidak lagi, setelah sebagian besar warga di kedua belah pihak, hidupnya sejahtera. Jadi sepertinya, dari sedikit gambaran diatas, ada korelasi antara tingkat kemakmuran dengan semangat tawuran. Cuma hipotesa ini masih mentah, karena ini seolah terpatahkan oleh adanya tawuran antar pelajar, tawuran antar suporter, tawuran antar geng, kemudian tontonan itu dilengkapi oleh bagaimana sikap para anggota dewan, kalau mereka ketemu sidang yang alot, deadlock, tidak ada kata sepakat, maka membahanalah keluar gemuruh sorak cemooh disana, kesemuanya sadar atau tidak sadar memberikan contoh membentuk karakter yang sama pada generasi berikutnya. 

Berkaca dari gambaran di atas, dilihat pada status sosialnya. Dimana sebagian besar dari mereka itu, apalagi anggota dewan, bukanlah kelompok dari golongan orang  - orang yang minim taraf hidupnya, bahkan daiantar mereka, rata - rata diatas lebih diatasnya lagi diatas rata - rata hidup sejahtera.

Lalu apa esensi dari tawuran ini kalau kita tak sudi mau berikhlas hati, mengatakan itu adalah bagian dari budaya bangsa? 

Exploitasi kemarahan yang membabi buta secara masal, amuk masa tak terkendali tiada mampu diredam jua, dihati - hati mereka, sekalipun pendidikan moral/ahlak slalu dikumandangkan dimana -mana? Belum lagi gaya petangtang petengteng karena mentang - mentangnya. Jika kita ada disana, ditengah - tengah amukan, seperti berada di ruangan angker, kaya di alam liar, bringas dan buas. Seperti sebuah negara yang tak bertuan, negara yang tidak ada negaranya.

Setiap negara memiliki dasar negara sebagai titik pijaknya disaat akan melangkah. Salah satu dasar dari dasar negara kita, adalah kerakyatan sama dengan kebersamaan semangat bergotong royong, bermusyawarah untuk mufakat, kemudian kata khidmad memberikan pembatasan bagi tumbuhnya semangat kebersamaan yang negatif dan anarkis, dengan kata lain semangat keinginan mau menegatifkan sikap solidaritas negatif. Tapi apa mau dikata, secara tidak sadar, banyak yang memberi contoh bagi tumbuhnya semangat mufakat kearah negatif, membuat persekutuan - persekutuan yang memancing saling berbisik saling menghasut, walau awalnya mungkin tidak sampai kearah itu, tapi mungkin pula lupa, sebab siapa yang membendung kebiasaan berbisik dalam persekutuan?

Ini baru satu, belum dikaitkan lagi dengan dasar - dasar dari dasar negara yang lainnya. Maka dibutuhkanlah sebuah teori/ ajaran yang mampu menjawab dari semangat yang terkandung dalam dasar negara kita. Sayangnya semua sudah menerima kalau dasar negara ( Pancasila) itu Ideologi. Yang padahal itu adalah visi yang melekat dengan misi yang mulia.

Kembali pada masalah kebersamaan pada sisi negatif, jika dilihat pada manusia sebagai mahluk sosial, ia sama dengan mahluk lainnya. Essensi mahluk sosial itu hidupnya berkelompok dalam mencari makan, menjaga lingkungannya batas kekuasaan. Jadi setiap mahluk hidup bisa bringas ketika wilayahnya dinganggu. Begitu dengan manusia, bringas pada manusia itu insting untuk menunjukkan kekuatannya, sama kaya mahluk lain, homo humini lupus.  Yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya, selain sebagai mahluk sosial, manusia juga sebagai mahluk budaya. Budaya inilah yang memberikan penilaian "kebersamaan pada sisi negatif" pada hal - hal kehidupan yang tidak beradab atau biadab. Sedangkan kehidupan biadab jika dilihat dari sisi mahluk sosial ansih, itu kebersamaan yang semodel itu tidak biadab tapi alamiah, gerak ilmiah semua mahluk sosial.

Maka essensinya disini adalah pada persoalan budaya. Pembentukan budaya itu melalui proses pendidikan.
Jadi berbagai hiruk pikuk aneka tawuran yang sampai dengan hari ini terus saja muncul itu muaranya pada persoalan pendidikan.

Dalam hal ini bukan mau menampikkan hasil pendidikan. Dan memang tidak semuanya buruk dari hasil penyelenggaran pendidikan di negeri kita.. Tapi tengoklah sudah berapa lama negara ini berdiri?

Menulis Bukan Profesi

Menulis Bukan Profesi
Setelah sering secara sekilas melihat beberapa judul dan isi dari tulisan seputar tentang nulis menulis dan profesi menulis. Mendorong saya untuk menyampaikan sesuatu, yang mudah - mudahan bisa menjadi sesuatu.

Setiap kali membaca, intinya hampir sama, kesemuanya didorong oleh motivasi kalkulasi uang. Tidak salah  tentunya jika penulis memberikan penilaian, kebanyakan sebagian orang tergiur untuk jadi penulis, salah satunya oleh pengaruh iming - iming hitungan duit, dari situ kemudian mencoba dengan kerasnya menulis, agar terwujud hasil segera seperti dalam gambaran dari kalkulasi uang, dengan kata lain impiannya.

Ketika hasil ternyata tidak sesuai dengan harapan, banyak yang patah arang. Sedangkan yang bertahan berusaha menengkan hatinya sendiri, biasanya untuk sekedar menjaga rasa kecewa terdalam dari jerih payahnya tidak terus menyakiti hidupnya, muncullah kata - kata kiasan pembelaan : "walau penjualan minim saat ada yang membeli adalah saat terindah seperti melahirkan bayi yang disenangi orang lain", " tidak masalah belum ada yang beli, kami senang ketika tulisan kami sudah beredar di etalase toko - toko buku", dsb. Beginilah semisal ungkapan bilamana menulis didasari motivasi imbal balik.

Maka seperti merek roti eceran silih berganti nama merek menghiasi etalase elang warung - warung di pinggiran jalan, jadi seperti main judi, untung - untungan. kalau laku tenar kalau tidak meratap mengelus dada, seperti kaum urban mencari peruntungan. Seperti serangan fajar multi - multi level marketing menjanjikan kemegahan dari orang - orang yang rindu dihormati sebagai pemimpin. Membuat Tulisan kehilangan ruh-nya.

Menulis adalah menuangkan buah pikiran, guratan hati, gagasan, menguraikan pengalaman, melukiskan imajinasi, untuk dibagi dan berbagi. Isi tulisan menyampaikan pesan dan tulisan dapat mempengaruhi peradaban. Dengan begitu menulis sama dengan menjaga kelangsungan peradaban, baik dalam dunia satra, perkembangan sosial budaya maupun Ilmu Pengetahuan. Sehingga menulis bukan profesi, hasil adalah akibat atau efek samping bukan sebagai pendorong orang untuk giat menjadi penulis.

Sebutan profesi pada seorang penulis adalah sebutan dari para pembacanya bukan dari si penulis itu sendiri yang menyebutkannya, bahwa dirinya berprofesi sebagai penulis. Semakin banyaknya media untuk menuangkan tulisan banyak yang membuat tulisan. Ini baik bagi perkembangan daya nalar. Mereka jadi gemar menulis sekedar hobi, kebutuhan dan aneka macam latarbelakangnya.

Dari sekian banyaknya talenta baru bermunculan, namun tidak sedikit yang kandas ditengah jalan. Masalahnya juga macam - macam, ada karena kesibukannya, ada juga karena minimnya informasi kaidah menulis yang dimiliki, karena upah, pendapatan yang diterima penulis tipis dan lain sebagainya.

Sebaliknya tidak sedikit pula yang menghindar untuk menjadi penulis setelah melihat, membaca  tulisan tentang minimnya pendapatan yang diterima si penulis dari upahnya menulis.

Sekalipun demikian tidak menyurutkan calon talenta untuk tetap dlgiat bikin tulisan. Tidak menjadi sesuatu yang tabu jika sekarang banyak juga yang terdorong menjadi penulis oleh desakan ekonomi, susahnya mendapatkan penghidupan.

Nah, kalau dibolak balik ketiganya sama, motivasinya adalah hasil akhir. Dan motivasi inilah yang menentukan isi tulisan itu berkualitas atau biasa - biasa saja.

Tulisan berkualitas mampu merubah paradigma, mampu mempengaruhi logika berpikir, mampu membangkitkan emosi, bahkan bisa membuat sebuah trend. Itu adalah Nilai sebuah tulisan, akan tetapi bila nilai itu dapat melemahkan semangat menulis, sama dengan masih terjebak kedalam motivasi akhir.

Menulislah apa yang dirasa, kegundahan yang dipunya dan uneg - uneg yang ingin disampaikan atau sekedar berbagi informasi dan pengetahuan adalah menularkan kecerdasan wawasan, pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan hasil akhir hanyalah akibat, seperti menanam sesuatu, maka panen adalah akibat dari tujuannya, yaitu berusaha mengetrapkan teori dan praktek bercocok tanam. Hasil akhirnya seberapa jauh tulisan diterima oleh pembacanya.

Memanglah tidak mudah membuat kesesuaian pesan antara apa yang dibenak dengan hasil menggoreskan sebuah tulisan. Jadi teruslah berproses, hingga proses itu semakin matang dalam kesesuaiannya, jangan dulu berpikir tentang pembacanya, berpikir saja apa yang ingin dituangkan.. Tulis..
Menulis.. Tulis.. Menulis.. Penulis..

Sunday, 1 April 2012

Tela'ah atas Sikap Presiden RI terhadap Hasil Sidang Paripurna

Mendengarkan paparan resmi pidato Presiden atas hasil sidang paripurna  DPR, 29 Maret 2012, walau tidak menyimaknya dengan tuntas, perlu diketahui, tidak menyimak dengan tuntas itu bukan karena  tidak menghormati Beliau, dimana sebagai warga negara yang baik, selayaknya mau mendengarkan dengan seksama dengan penuh perhatian.  Dan juga bukan karena sudah terbentuk apriori atau tidak suka secara pribadi oleh faktor a atau b atau c atau d atau z, padanya. Itu  semua dikarenakan oleh sebab paparan awalnya.

Setelah menyimak beberapa kalimat awal dari paparannya, isi paparannya itu sudah cukup menggambarkan sikap Presiden atas hasil akhir rapat sidang paripurna DPR kemaren itu, dan juga sudah cukup mewakili semua uraian yang akan disampaikannya saat itu secara keseluruhan. Dan tentunya disini yang menarik adalah sikap Presiden dari mulut, mimik dan motoriknya

Sikap Presiden, dari sisi pribadi Beliau sebagai pribadi dalam setiap menyikapi norma tata tertib dalam bernegara, sudah dipastikan dapat menerima. Dari sisi sebagai  Pengemban mandat pemerintahan yang didalamnya memiliki rencana, menerima walau agak pilu diwajahnya.. Sedangkan sebagai bagian dari kelompok partai birunya, nah ini yang paling menarik, Beliau condong memperlihatkan geramnya dengan menyebut - nyebut sebutan kata koalisi di perparah, oleh karena, dari sudut penilaian penulis, tidak siap kalah dan tidak siap solusi pemecahannya, kalau naik ataupun tidak, maka yang ditonjolkan adalah membangga - banggakan diri atas prestasinya sendiri selama di daulat menjadi Presiden RI, ini lebih lucu dibanding lawakannya sule.

Sikap Presiden ini, kemudian disikapi dengan bermacam penilaian dari semua masyarakat Indonesia, jumlah yang menyeruak antara pro dan kotra bisa dikatakan  cukup berimbang, hanya yang diam saja yang sulit untuik  ditelaah berimbang tidaknya dengan jumlahnya orang menghujatnya, sebab yang diam bisa pro bisa kontra. Dan sikap Presiden ini semakin memperburuk wajah Indonesia berdasarkan penilaian dari telaah sikap Presiden sebagai bagian dari pemegang mandat pemerintahan dan sebagai baju biru..

Dan juga memang tidak penting membahas ini, seperti yang khalayak umum bisa merasakan sendiri, pencitraan menjadi headline setiap gerak langkanya. Namun bagi penulis menjadi Penting kalau beliau bersikap dalam menyikapi keputusan itu adalah bersikap sebagai pribadinya, karena itu lebih jujur dibanding kedua tadi. Implikasinya kedepan, rakyat membelanya sebenar - benarnya membela..

Saturday, 17 March 2012

Tingkat Kesadaran Masyarakat Sudah Matang

Tingkat Kesadaran Masyarakat Sudah Matang

My note at Facebook, March 18, 2012.at 02:44



Membaca tulisan lugas seorang calon dokter, terdorong untuk membaca sekilas dari sk permenkes. Keduanya sangat intelektual dalam uraiannya, apalagi yang satu uraian sebuah SK, tentu uraiannya lebih sistimatis, meski secara umum SK, isinya slalu begitu, tidak mudah untuk dipahami sekalipun oleh praktisi hukum apalagi orang awam, bahkan kebanyakan juga dipastikan si pembuatnya sendiri pun belum tentu clear benar mengerti isinya, ini bukan mau mengecilkan kemampuannya, namanya juga model SK peninggalan prasejarah.




SK semodel itu, biasanya si penanggung jawab SK akan ketahuan tidak tuntas memahami apa yang dibuatnya kalau SK itu, muncul masalah dalam pelaksanaannya, yaitu ada gugatan hukum yang menarik-narik untuk mengkaji uraian SK tersebut. Dan jika sudah begitu, dalam perdebatannya, untuk menguatkan argumentasi ilmiahnya dari si penanggungjawab pembuat SK, biasanya akan melebar kemana-mana. Dan biasanya lagi, yang bukan yang bertanggungjawab / wali penanggungjawab / advokat / penasehat hukum malah suka melebihi takarannya dalam berargumentasi. Maap sedikit melebar ke model SK.


Kembali ke tulisan menarik dari seorang calon dokter, dokter gigi, tentang ruang lingkup kerja dokter gigi dengan permasalahannya berhadapan dengan para tukang gigi yang dibatasi oleh SK pencabutan praktek tukang gigi, kurang lebih begitu.


Saudara-saudara, kata "tukang" sudah menjadi kesadaran bangsa Indonesia,mungkin sejak zaman firaun, ditujukan pada keahlian sebuah profesi. Sehingga secara harafiah kata Tukang itu, sebuah profesi. Kemudian dalam perjalanannya, sejalan dengan berkembangnya tingkat pendidikan, status sosial dan persentuhan sosial, mulai sedikit dibedakan maknanya dalam status sosial, antara tukang dengan profesi yang berstatus profesinya, profesional. Pembeda ini selain sebagai pamor gengsi juga menunjukkan pada strata-nya dengan label titelnya. Padahal kalau dilihat makna asalnya, keduanya adalah sama alias tidak beda. Tukang = ahli/pandai, Profesional = ahli/pandai.


Nah dengan begitu, dokter gigi juga bisa dikatakan tukang gigi.


Kemudian tukang gigi yang bukan dari dokter gigi, di SK disebut kata tukang gigi, ini bisa kena juga kepada dokter gigi. Sebaiknya jika yang dimaksud oleh SK tersebut adalah tukang gigi yang bukan dari lulusan dokter gigi, harusnya dicantumkan kata setelah tukang gigi, bahasa sederhananya "tidak bersertifikat dokter gigi" atau "bukan anggota IDI". Cuma karna perkataan tukang itu sudah dianggap mafhum oleh kalangan umum, mungkin menurut si pembuat SK, jadi dengan "Tukang" saja sudah bisa mengena pada sasarannya. Meski dari sudut hukum bisa menimbulkan lahan /celah, memancing gugatan balik kalau dikemudian hari muncul masalah secara massive.


Terakhir yang menarik ya tulisan dokter gigi itu. Menariknya karna sistimatik dalam mengurai masalah, harapan dan pemecahan solusinya.


Sebagai penutup sedikit tentang kenyataan Masyarakat Indonesia sekarang. Bahwa masyarakat Kita sekarang sudah cukup matang dalam menentukan pilihan hidupnya, juga dalam menentukan alternatif pengobatan kesehatannya. Kalaulah diantara mereka itu masih banyak yang lebih memilih tukang gigi yang bukan lulusan dari dokter gigi, ini jauh kaitannya dengan tingkat pendidikannya. Tapi lebih kepada kemampuan financialnya.




Bayangkan saja, ada juga seorang sarjana S2 pun banyak yang tidak ke dokter gigi karna belum bekerja, atau pun bekerja tapi masih pekerja lepas harian dalam arti belum menemukan pekerjaan yang menghargai S2nya.Jadi yang harus dibenahi, dimulai dari pembangunan Pendidikan yang beriringan dengan meningkatkan sumber2 Industri baru dengan terobosan baru dan berani, yang pemerintahnya bukan mendorong-dorong masyarakatnya untuk menciptakan lapangan kerja.


Penting diusulkan kepada pemerintah oleh dokter gigi, bukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk pergi ke dokter gigi. Tapi mendorong pemerintah melalui IDI untuk memperluas industri yang menyerap banyak SDM.. Sehingga memudahkan kerja untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya menjaga kesehatan gigi.

Saturday, 7 January 2012

Awal Tahun 2012

Awal Tahun 2012
Permulaan awal tahun, diawali dengan cuaca yang sedikit tidak bersahabat. Cuma kalau dibeberapa lokasi di DKI dan sekitarnya akibat cuaca, pohon - pohon pada tumbang, papan reklame rubuh dan terjadi longsor di jalan tol, itu bukan peristiwa kejadian alam, tapi musibah akibat kesalahan manusia, lebih tepatnya bentuk ketololan dari, baik yang menanam dan membangunnya juga yang terlibat didalamnya, baik secara langsung maupun tidak. Jadi tidak menarik untuk didalami lebih jauh. Nah, yang paling menarik adalah diawal tahun ini terjadi bentrokan antar warga/kampoeng dibeberapa tempat di wilayah Republik Indonesia ini.

Republik Indonesia, masyarakatnya masyarakat pancasila, kehidupannya berpancasilais.Lihat saja lima butirnya didalamnya adalah menggambarkan kehidupan sosial budaya dari kekhasan setiap etnis dan bangsa - bangsa( bhineka ) dalam keutuhan bangsa sebangsa kedalam satu ikatan setanah air, Republik Indonesia. Lima dasar menjadi kata kunci sosial budaya, kata kunci yang ingin ditampilkan kepermukaan dari kenyataan bentuk tatanan hidup bangsa Indonesia sejak kakek-kakekku kakek-kakekmu bisa berdiri. Kemudian ini menjadi satu bentuk dogma, berlanjut hingga kini terus dibangkit-bangkitkan kembali sebagai bentuk penawaran dogma, hidup berPancasila.

Kehidupan masyarakat Pancasila digambarkan terlalu berlebihan. Sebagai harapan sih oke - oke saja, tapi kalau sudah menyentuh dogma ini menjadi timpang, sebab Pancasila itu sendiri merupakan gambaran khusus ( penonjolan sisi baiknya) dari kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia. Hal yang dilupakan didalam jiwa pancasila adalah satu kenyataan yang terpendam dibalik lima butir sebagai kata kunci tadi, yaitu mudah diajak musyawarah mudah pula disulut masalah. Apalagi kalau dijejer setiap butirnya, dari ketuhanan..sampai keadilan, masing - masing butir, ada yang tersembunyi dari kenyataan negatif/buruk dari watak & kebiasaan-nya. Belum nanti ini digandeng dengan pengaruh pendidikan dan pergaulan dengan dunia luar. Apalagi kini, era sudah banyak berubah drastis, jaringan sosial dunia maya telah membuat dunia satu bangsa.

Kembali ke masyarakat Pancasila, bayangkan satu bentuk budaya asli bangsa pada sisi negatifnya yang ingin dinegatifkan dalam kenyataan sosial, dimana yang perlu disadari, bahwa, yang negatif itu takkan pernah hilang, sebab itu bersemayam didalam dada bangsa Indonesia. Kemudian masuklah dunia politik dalam arti, arti politiknya menurut pemahaman politik dari para politisi dan pengamata politisi. Maka, masyarakat ini akan mudah dijadikan objek dengan model pemicu macam2 dalam situasi & tujuan apa saja.

Hal yang paling fundamental untuk menghilangkan kebodohan adalah dengan pendidikan.Namun yang teramat sangat fundamental adalah Negara ini tidak pernah serius membangun pendidikan. sebuah Kontruksi Pendidikan Pembebas Kebodohan Masal.





Thursday, 22 December 2011

PENDAPAT & PEDOMAN

PENDAPAT & PEDOMAN

Ada Pendapat, ada Pedoman.. Pendapat dibaliknya pedoman.Pedoman menyudahi pendapat.


Bermilyar manusia di dunia, masing - masing punya pendapat, maka pendapat bisa bermilyar - milyar, bermilyar - milyar pula pendapat yang berbeda - beda bersemayam di kepala manusia, ada juga yang bertumbukan lewat ranah diskusi.




Seberapa jauh pendapat dihargai?

jawabannya, kembali ke penyelamatan situasi, yaitu pada kalimat "saling menghargai pendapat masing - masing".

Lalu seberapa bernilai pendapat itu?

Yakinlah, tak ada yang mampu mengukur, sebab itu hanya sebuah persepsi. Kedalaman nilai-nya bisa kita lihat dengan satu ilustrasi.

Mari kita bermain ilustrasi..


Coba kita bayangkan, ketika ada 3 orang yang tersesat di dalam hutan, dimana ke 3 orang tersebut, tidak membawa KOMPAS. Saat mereka akan pulang, pastilah terjadi masalah. Dan Ketika akan dimulai pencarian jalan keluar, bagaimanakah situasi ke-3 orang tersebut?


Situasi yang bisa kita bayangkan adalah mereka akan saling berdikusi mencari jalan keluar agar bisa keluar dari hutan tersebut. Diskusinya pada awalnya saling mengeras, masing - masing bersikeras dengan pendapatnya, lalu karena hari semakin gelap, mau tak mau harus ada yang mengalah. Dan akhirnya satu orang ditunjuk sebagai pemimpin penunjuk arah. Pendapat pemimpin ini bisa 100 % benar, bisa juga 100 % malah mengantarkan mereka ke tepi jurang. Akhirnya sekedar untuk mencapai ketenangan hati, masing - masing berdoa dalam meniti perjalanannya, semoga bisa selamat dan keluar dari rimba raya itu.. Situasi dalam perjalannyanya akan terlihat tenang yang dibuat - buat..antar yakin dan tidak.. diyakin-yakinin tetap saja tidak yakin..namun kalau pun saat itu terbesit tidak yakin, bahaya, malah membuat mereka semakin gelisah. Harapan satu2nya adalah adanya jejak..baik itu sampah orang maupun ranting - rating patah sebagai tanda pernah dilalui sebagai jalur lintasan.


NAH! Bagaimana situasinya, jika ketika itu mereka punya kompas?..

Terjadikah saling silang pendapat tentang arah jalan keluar hutan?

Dan beranikah mereka mempertentangkan Arah Utara, Selatan, Barat dan Timur yang ditunjukan oleh KOMPAS?




Kompas adalah Pedoman arah. Tentunya yang dimaksud itu kompas yang masih baik kerjanya. Pada situasi seperti itu, kompas memberikan Kepastian arah bagi mereka. Kepastian ini juga membuat langkah - langkah mereka menjadi yakin dan pasti.. Dengan adanya Kompas di tangan tak ada lagi ketegangan, gelisah dan doa komat - kamit membendung luapan ketakutan diantara mereka. Yang ada hanyalah keriangan menyambuat hari - hari sepanjang hari itu di hutan itu, mulai dari datang sampai pulangnya..hehehe


Sedikit pesan secangkir kopi:


"Pedomani hidup agar tidak terjebak oleh pendapat yang bisa membuat stroke kehidupan"


by me on Facebook/Ahmad Hanafiah on Thursday, 22 December 2011 at 02:10