Dedeh Wanita Menggugat
Disamping wanita lemah harus ada lelaki yang kuat
Disamping wanita kuat harus ada lelaki yang kuat
Kasus seorang ibu mencoba mengakhiri hidup anak - anaknya adalah bagian - bagian dari fenomena sebagai buah perjalanan. Potretnya itu bukanlah pada si ibu itu yang mencoba mengakhiri hidup anak - anaknya, tapi bagaimana pada reaksi - reaksinya. Melihat, membaca reaksi atas kasus tersebut, macam - macam, yang maknanya sama, ada yang mencela, ada yang menghujat, ada yang iba, ada pula yang biasa - biasa saja, ada juga yang mencoba mengukur dengan kehebatannya atau orang - orang disekitarnya atau dari cerita orang dalam menghadapi cobaaan hidupnya agar orang lain tidak mengambil jalan pintas seperti si ibu atau kehebatan orang lain (seolah - olah sudah menjadi mahluk yang sempurna).. dan banyak lagi macam reaksi terhadap itu. Ini semua adalah bentuk reaksi, bentuk reaksi itu adalah hasil, dan hasil itu buah dari perjalanan.
Buah perjalanan sangat ditentukan oleh langkah kaki pertama, ditentukan ketika langkah pertama berjalan. Ini bukan persoalan yang menyangkut langkah pertama orang perorang, tapi ini menyangkut buah perjalanan dari sebuah negara besar Indonesia. Negara yang bangsanya selalu berbangga dengan kebesaran bangsanya, selalu berbangga dengan keramahtamaannya, selalu berbangga dengan tolerannya, selalu berbangga sebagai bangsa Indonesia. Tapi kenyataan mereka tidak pernah sadar telah menelantarkan bangsanya sendiri.
Bangga, dendam, benci, mudah tersinggung satu ikatan setipis kulit bawang dibawah komando syaithan
Tahukah haram apa yang kita makan jika dalam radius 1/1000mil ada insan yang tidak bisa makan?
Hebatnya lagi kejadian itu, tidak ada satupun yang muncul ke permukaan, memandang ini sebagai satu tragedi nasional, tragedi atas gagalnya membina negara, semua sama mengkristal kepada satu anggapan, bahwa peristiwa itu hanyalah sebuah kecelakaan biasa, sebentuk model dari gagal dalam membina rumah tangga. Begitulah, mereka melihat pada sudut yang sama, adalah si Ibu dan pasangannya ini gagal membina keluarganya atau gagal melewati rintangan hidupnya. Mereka anggap itu cuma tragedi biasa, yang bisa terjadi kepada siapa pun yang mengalami depresi. Anggapan - anggapan seperti inilah yang membuat anteung / tenang bahkan menjadi - jadi bagi para pemburu kekuasaan atas negara ini melanjutkan nafsunya, mengejar tahta kekuasaan atas negeri ini.
Ketika berita ini muncul di media dan media menyampaikan kasus tersebut dengan judul "Seorang Ibu keji menghabisi anak - anaknya", ini sebagai bentuk citra rasa termutakhir, bahwa sebenarnya yang keji itu media, menurutnya si ibu keji. satu tingkat mungkin judul tersebut untuk memancing reaksi orang membacanya, tapi ketika melihat isinya, jelas bukan itu, yang uraiannya memang mau menyampaikan, kalau si ibu itu keji.
Ketika ahli kejiwaan mengatakan si ibu ini mengalami gangguan kejiwaaan, ini citra rasa termutakhir,bahwa ahli jiwa ini yang mengalami gangguan kejiwaan. Kenapa demikian? karena sama dengan ahli jiwa menganggap bahwa sebagai penyebab si ibu mencoba mengakhiri hidup anak - anaknya adalah karena gangguan jiwa. Apa benar begitu? jangan- jangan ahli kejiwaannya yang sakit jiwa..hehe..
Diatas sudah disampaikan ini adalah buah perjalanan membina negara. Jadi yang membuat si Ibu mencoba mengakhiri hidup anak - anaknya bukan gangguan kejiwaan. Gangguan kejiwaan pada si ibu ini akibat saja bukan sebagai sebab, bukan sebabnya. Sebabnya ini merupakan tumpukan beban terpaan hidup terus berakumulasi yang tidak sanggup lagi bertahan untuk keluar dari situasi seperti itu, dimana kanan, kiri, depan dan belakangnya tidak ada yang tempat yang bisa meredakan itu, sebab yang membuat si ibu menjdi demikian (yang demikian itu yang dikata oleh ahli jiwa, gangguan kejiwaan).
Situasi seperti itu, dibutuhkan pendamping yang sanggup meredakan ketakutan yang jika tidak ada / bisa akan mengantarkannya kepada blank kesadaraan. situasi seperti itu dibutuhkan lingkungan yang bersahabat layaknya lingkungan yang menggambarkan khitah manusia sebagai mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial memiliki ikatan yang kuat untuk melepaskan belenggu - belenggu hidup yang ringan hinggga jeratan yang bisa mencekik leher.
Dan kata - kata pelipur lara seperti:"sabar ya..yang kuat ya.." itu bukanlah jawaban pada situasi demikian. Bahkan perkataan seperti itu malah menjadi racun yang membuat si ibu menjadi kian yakin tidak dapat melepaskan jeratan lehernya, yakin itu suratan takdirnya, yakin itu garis nasibnya. artinya dalam belenggunya akan menyimpulkan bahwa "kata sabar dan kuat" itu tidak akan pernah menjawab persoalan hidupnya, mengingat waktu terus bergerak kian membayangi mendekati masalah. Singkatnya situasinya, orang yang semodel si ibu itu butuh nasi, dimana nasi? ia butuh uang, dimana uang? bukan butuh sama sekali seorang semodel mario t, butuh diberi ruang untuk bernapas, bicara, hiburan hati dan pikirannya.
Diatas sudah dikatakan bahwa situasi demikan itu dibutuhkan seorang pendamping yang kuat...Tentunya pendamping itu seorang laki - laki. Sementara kenyataannya dunia tidak seindah yang dibayangkannya, dunia tidak memberi jaminan dalam pencarian seorang laki - laki akan pasti ketemu laki - laki yang kuat yang sanggup mengayomi dan menguatkannya dikala duka dalam mengarungi bahterea hidupnya. Sebaliknya negara sudah melupakan/mengabaikan mensuplai pembangun SDM berkualitas tangguh dalam segala posisi. SDM berkualitas itu bukan seperti gambaran mereka,yakni manusia pintar dan pendidikannya tinggi-tinggi semua.. bukan itu sama sekali!!!.
Berkualitas itu menyangkut penghargaan dan keberpihakan dalam satu ikatan janji menjadi satu bangsa dalam kebangsaan; itulah yang dimaksud SDM berkualitas!!! Itu yang diabaikan. Mereka selalu saja kembali pada bangsa - bangsanya. Dan ujungnya cerita palsu tentang SDM berkualitas itu diaktualisasikan dengan ukuran berkualitas sebagai bahan mereka untuk dijadikan acuannya adalah sekolah gratis, sebagai cetakan untuk membentuk sdm pinter dan ahli, hanya dan cuma sebatas itu.
Kemudian dikatakan pula bahwa dalam situasi demikian dibutuhkan lingkungan yang bersahabat. nah sekarang mari dilihat kenyataan kehidupan interaksi sosial masyarakat dalam satu wilyah saja, cukup satu sebagai contoh kasusnya, karena tatanannya sekarang sudah tidak jauh berbeda, lalu ajukan pertanyaan dalam hubungan lingkungan bersahabat, seperti begini:
" apa ada garansi ketika tanah - tanah sudah dibatasi pagar tinggi tercapai ssatu kehidupan toleran yang hakiki?
" apa ada garansi satu kehidupan toleran ketika ruang - ruang jalan di area pemukiman dijaga satpam, sementara dibalik temboknya pemukiman orang miskin yang bisa saja lebih dekat jaraknya dibanding rumah pak RT/RW pemukim yang dijaga satpam?
Mungkin pernah membaca umat kristiani dari bangsa negro menguliti bangsanya sendiri yang muslim. sebaliknya dibelahan lain bangsa negro muslim membumi hanguskan bangsanya sendiri yang kritiani. Ohhhh.. itukan disana bukan disini, di Indonesia tidak bakal sampai terjadi hal semacam itu.. benarkah begitu?? jika yakin benar seperti itu..sepertinya perlu keliling Indonesia dalam satu waktu agar yakin yang demikian pun ternyata bisa terjadi di negerinya sendiri. Bisa karena agama, bisa karena penghidupan, bisa karena dorongan seks dsb..
Bersambung.. dengan judul yang lain, isinya kelanjutannya.