Tuesday, 7 December 2021

Bertemu Suami yang Sempat Raib Dua Hari

Bertemu Suami yang Sempat Raib Dua Hari

Bertemu Suami yang Sempat Raib Dua Hari


GALI PELAN-PELAN: Tim gabungan berusaha mengevakuasi jenazah yang tertimbun abu vulkanis di Kampung Renteng, Lumajang. Hingga kemarin, korban meninggal mencapai 22 orang. (DIPTA WAHYU/JAWA POS)






Khadir harus berkeliling dari masjid ke masjid dan posko ke posko selama dua hari sampai akhirnya bertemu lagi dengan anak dan istrinya. Banyak warga dari luar kota yang datang ke Lumajang untuk mencari keluarga mereka.







Teriakan pendek Rohima itu sudah cukup mengejutkan keponakannya, Hayatun, yang duduk di sampingnya. Juga hampir seisi posko yang tengah mengikuti kegiatan yang diadakan Kementerian Sosial hari Senin kemarin, 06/12/2021.


Hayatun menoleh dan melihat sang bude memeluk seorang pria yang baru saja tiba di posko yang terletak di Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, itu. Pria tersebut suaminya, Khadir, yang dua hari ”hilang” sejak Gunung Semeru meletus.


Hayatun menghambur ke arahnya. Tangis haru pun pecah. ”Alhamdulillah, iya baru bisa ketemu (suami) sekarang ini,” kata Hayatun kepada Jawa Pos sembari masih sesenggukan.


Saat Semeru meletus pada Sabtu (4/12) sore lalu, Khadir meminta istri dan kedua anaknya mengungsi dulu ke masjid desa. Dia berjanji bergabung dengan mereka belakangan karena harus menjaga rumah dulu. Tiap kali ada kondisi darurat, kaum pria di Dusun Curah Kobokan, Desa Sapiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, memang selalu mengambil langkah demikian.


Tapi, di masjid, Hayatun dan kedua anaknya keburu dievakuasi terlebih dulu. Suami istri itu pun putus kontak. Yang Hayatun tahu kemudian, Curah Kobokan menjadi satu di antara dua dusun paling parah terdampak letusan. Seperti Dusun Kampung Renteng di Desa Sumberwuluh di bawahnya, Curah Kobokan terkubur pasir dan abu vulkanis.


”Saya kalut, sudah sempat pasrah. Bisanya hanya berdoa,” tutur Hayatun.


Hingga kemarin pukul 17.30, Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan sudah 22 orang yang dinyatakan meninggal. Dari jumlah tersebut, 14 orang meninggal di Pronojiwo, 8 lainnya di Candipuro.







"Dari 14 orang meninggal di Pronojiwo, masih ada 5 orang yang belum teridentifikasi. Sembilan lainnya sudah teridentifikasi dan telah dimakamkan,” kata Kapusdatinkom BNPB Abdul Muhari dalam jumpa pers kemarin.


Sementara untuk 8 korban meninggal di Candipuro, 1 orang ditemukan di Kebon Deli Selatan pada pukul 15.45 WIB kemarin. Jenazah korban tersebut belum teridentifikasi.


Total masyarakat terdampak, baik terdampak langsung aliran lahar di 2 kecamatan maupun terdampak abu vulkanis di 8 kecamatan, mencapai 5.025 orang. Adapun sebaran pengungsi berada di 19 titik pengungsian dengan jumlah total 2.004 jiwa. Perinciannya, 305 orang berada di 9 titik Kecamatan Pronojiwo, 1.136 jiwa tersebar di 6 titik Kecamatan Candipuro, dan 563 orang mengungsi di 4 titik Kecamatan Pasirian.


Sementara itu, tim SAR gabungan melaporkan ada 27 korban hilang yang kini masih menjadi fokus pencarian. Sejumlah tetangga dan kerabat Khadir serta Hayatun pun belum ditemukan.


Di Dusun Kampung Renteng, Rofiah juga langsung bergerak menuju titik penjemputan begitu mendengar tiga jenazah ditemukan di sana kemarin. Ada tujuh kerabatnya yang masih hilang.


Bersama sang kakak, Titik Rosantini, Rofiah berdiri paling dekat dengan ambulans. Seketika air matanya tumpah saat jenazah pertama dibawa menuju ambulans pada pukul 10.54, meski tidak mengetahui pasti siapa jenazah di balik kantong mayat tersebut. Ternyata itu bukan kerabatnya.


”Mereka memutuskan mengungsi. Di tengah jalan tersapu pasir,” ungkap Rofiah tentang para kerabatnya yang belum diketahui nasibnya itu.







Hingga evakuasi jenazah ketiga pada pukul 11.20, kakak beradik itu masih bertahan. Setelah azan Duhur berkumandang, baru mereka memutuskan kembali ke rumah saudaranya, tempat mereka tinggal sementara. Yang mereka cari belum ketemu, tapi mereka sempat menitipkan doa dan harapan kepada tim pencari.


Tak sedikit pula yang seperti Nurkholis. Pria asal Dusun Kebondeli Utara, Desa Sumberwuluh, itu memutuskan kembali dari tempat kerjanya di Jogjakarta setelah mendengar Semeru meletus.


Kala satu bus dengan Jawa Pos dalam perjalanan Surabaya–Lumajang pada Minggu (5/12) lalu, ponsel miliknya tak pernah berhenti berdering. Tak hanya dari saudara jauh yang menanyakan kabar dan kondisi terkini. Namun juga saling menyambung telepon dengan keluarganya yang tengah bergerak menjauh dari Candipuro. ”Semua saudara dan keluarga menyampaikan kabar terbaru,” ujarnya sesaat setelah turun dari bus.


Pada hari yang sama dengan Nurkholis, Hervita bersama suami, Barizi, juga langsung bertolak dari Surabaya ke Penanggal setelah Semeru mengalami erupsi. Dia mencari sang ibu, Luluk, yang tinggal bersama kakek-neneknya di Curah Kobokan.


"Tadi sudah sempat ke sana (Curah Kobokan), tapi diportal sama petugas. Saya belum tahu nasib ibu dan kakek-nenek saya,” katanya kepada Jawa Pos Radar Semeru pada Minggu lalu.


Yang kehilangan keluarga karena awan panas guguran Semeru pun akhirnya memilih mengungsi atau sekaligus pindah sejauh-jauhnya. Bahkan sampai ke wilayah perkotaan.


Termasuk warga Dusun Curah Kobokan. Dari pantauan Jawa Pos Radar Semeru, ada sekitar 77 warga yang mengungsi ke Desa Labruk Kidul, Kecamatan Sumbersuko, dan puluhan lainnya pindah ke kecamatan kota hingga Kecamatan Randuagung.


”Tadi pagi ada awan panas lagi. Saya takut itu menimpa keluarga. Makanya, tadi pagi saya minta jemput saudara di kota pindah ke sini,” kata Suliyana di Kantor Desa Labruk Kidul bersama suami dan anaknya.







Rumahnya sudah hancur tertimbun pasir. Tak ada lagi yang tersisa. Itulah yang membuat dia sudah tidak berkenan kembali.


Tak semua seperti Suliyana. Khadir dan Hayatun belum berpikir terlalu jauh ke depan mereka tinggal di mana.


Mereka bersyukur masih bisa berkumpul lagi. Setelah selama dua hari Khadir menyusuri masjid demi masjid, posko demi posko, serta menyeberangi Besuk Kobokan yang menghubungkan Curah Kobokan dengan Penanggal untuk menemukan keluarganya lagi.


Dan, akhirnya, di posko di ketinggian 322 mdpl itu, dia menemukan hartanya yang paling berharga: istri dan kedua anaknya. Banyak yang tak seberuntung dia.






















No comments: