Pengakuan mengejutkan datang dari mantan menteri keuangan (menkeu) Afghanistan, Khalid Payenda. Ia menyalahkan ulah para pejabat korup yang menciptakan "bala tentara hantu" dan menerima bayaran dari Taliban sehingga pemerintah dengan cepat dapat digulingkan.
Khalid Payenda mengatakan kepada media BBC bahwa, sebagian besar dari 300.000 serdadu dan polisi dalam daftar pemerintah sebenarnya tidak pernah ada.
Ia mengatakan "personel hantu" itu ditambahkan ke daftar resmi supaya gaji mereka bisa masuk ke kantong para jenderal.
Taliban menguasai Afghanistan dengan cepat pada Agustus lalu, menyusul penarikan pasukan AS angkat kaki setelah 20 tahun di negara itu.
Payenda, yang mengundurkan diri dan meninggalkan Afghanistan saat kelompok Islamis itu mulai maju, berkata bahwa catatan yang menunjukkan bahwa jumlah pasukan keamanan lebih banyak dari Taliban adalah keliru.
"Cara penghitungannya, Anda bertanya pada pemimpin di provinsi itu berapa banyak orang [pasukan] yang kamu punya dan berdasarkan jumlah itu Anda dapat menghitung gaji dan jatah makanan dan mereka (jumlah pasukan) selalu dilebih-lebihkan," katanya kepada Ed Butler, presenter program Business Daily BBC.
Sang mantan menteri mengatakan angka tersebut dapat dilebihkan sampai lebih dari enam kali lipat, dan mencakup "desertir [dan] martir yang ikut dihitung karena beberapa komandan menyimpan kartu bank mereka" dan menarik gaji mereka, ia mengklaim.
Jumlah pasukan pemerintah di Afghanistan sudah lama dipertanyakan.
Keterangan gambar, Seorang kadet Pasukan Nasional Afghanistan setelah menjalani pelatihan di Herat pada 3 Oktober 2017.
Sebuah laporan yang diterbitkan pada 2016 oleh Inspektur Jenderal Khusus AS untuk Rekonstruksi Afghanistan (Sigar) mengklaim bahwa "baik Amerika Serikat maupun mitranya di Afghanistan tidak tahu ada berapa banyak sebenarnya prajurit dan polisi Afghanistan, berapa banyak yang menjalankan tugas, atau, terkait dengan itu, bagaimana kapabilitas operasional mereka sebenarnya.
Dalam laporan lain baru-baru ini, Sigar mengungkapkan "kekhawatiran serius tentang efek korosif dari korupsi… dan ketidakakuratan data tentang kekuatan pasukan yang sebenarnya".
Payenda mengatakan serdadu yang benar-benar ada pun seringkali tidak dibayar tepat waktu, sementara itu ada pemimpin-pemimpin milisi yang disokong pemerintah yang mendapat gaji dari pemerintah, dan kemudian juga menerima uang dari Taliban untuk menyerah tanpa bertempur.
"Yang kami rasakan adalah, kami tidak bisa mengubah ini. Beginilah cara parlemen bekerja, beginilah cara gubernur bekerja. Semua orang akan bilang airnya sudah keruh dari hulu, berarti pejabat di paling atas terlibat di sini," ujarnya.
"Saya tidak melihat ada urgensi dan pemahaman akan keseriusan masalah ini pada para kolega saya, atau mereka mengerti, tapi tidak peduli. Yang penting mereka dapat uang.
Keterangan gambar,Personel Militer Nasional Afghanistan saat menjalani pelatihan di Herat pada 2019
"Direktur Bea Cukai saya, misalnya, pernah berkata kepada saya bahwa ia terus ditekan oleh seorang gubernur yang mengatakan 'pemerintahan ini tidak akan bertahan enam bulan lagi, apa kamu gila memasukkan semua pendapatan bea cukai ini ke kas negara, kenapa tidak bagi fifty-fifty saja buat kita berdua?'"
Payenda berkata ia tidak sampai berpikir bahwa mantan Presiden Ashraf Ghani "korup secara finansial".
Menanggapi tuduhan korupsi di kementerian keuangan, Payenda mengatakan: "Saya setuju dengan itu sampai batas tertentu tetapi dalam masalah ini, sama sekali tidak."
Ia menambahkan bahwa Barat "punya andil" dalam beberapa kegagalan di Afghanistan, dan menyebut keterlibatan AS dan NATO di negara itu sebagai "kesempatan besar yang terlewatkan".
No comments:
Post a Comment