Sunday 14 November 2021

Isi PERMENDIKBUD Yang Jadi Kontroversi

Isi PERMENDIKBUD Yang Jadi Kontroversi

Isi PERMENDIKBUD Yang Jadi Kontroversi

Menteri Pendidikan Nadiem Makarim rapat dengan komisi X DPR. ©2021 Liputan6.com/Angga Yuniar







Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi banyak tuai pro dan kontra dari berbagai macam kalangan.







Sejumlah kalangan menilai Permendikbud Ristek melegalkan seks bebas.


Pelaksana tugas (Plt.) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam mengatakan anggapan tersebut terjadi karena kesalahan persepsi.


"Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk diawal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan', bukan ‘pelegalan',” ucapnya dilansir dari laman Kemendikbud Ristek, hari Senin, 08/11/2021


Banyak yang penasaran, bagaimana isi Permendikbud No 30 tahun 2021 yang belakangan ini menjadi kontroversi. Permendikbud No 30 Tahun 2021 tersebut tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.


Ada sebuah tudingan bahwa aturan tersebut seakan melegalkan zina. Namun, Kemendikbud-Ristek membantah soal tudingan yang diarahkan terhadap Permendikbud PPKS tersebut. Lalu seperti apa isi Permendikbud No 30 tahun 2021 ini?





Unduh Salinan PERMENDIKBUD Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) L








Diketahui, Permendikbud No 30 Tahun 2021 diteken oleh Mendikbud-Ristek langsung, yaitu Nadiem Makarim. Ada beberapa pasal yang menjadi sorotan, yaitu:



Pasal 1 (ayat 14) tentang Kewajiban Pembentukan Satuan Tugas



14. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang selanjutnya disebut Satuan Tugas adalah bagian dari Perguruan Tinggi yang berfungsi sebagai pusat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.



Pasal 3 tentang Prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual



Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilaksanakan dengan prinsip:


  1. kepentingan terbaik bagi Korban
  2. keadilan dan kesetaraan gender
  3. kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas
  4. akuntabilitas
  5. independen
  6. kehati-hatian
  7. konsisten
  8. jaminan ketidakberulangan.


Pasal 5



  1. Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, non fisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.


  2. Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban


    2. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan jorban menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban


    3. menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman







    4. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban


    5. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.


    6. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban


    7. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban


    8. mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;


    9. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban


    10. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual


    11. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban


    12. membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban


    13. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual


    14. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi


    15. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin


    16. memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi


    17. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;


    18. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau


    19. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.


  3. Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:

    1. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


    2. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya


    3. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;


    4. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur


    5. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan


    6. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility), dan/atau


    7. mengalami kondisi terguncang.







Kontroversi Permendikbud No 30 Tahun 2021 yang dianggap melegalkan zina langsung dibantah oleh Plt Dirjen Pendidikan Tinggi dan Ristek Nizam. Menurutnya, peraturan tersebut dibuat untuk memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan. Pasalnya, timbul keresahan mahasiswa hingga dosen soal kekerasan seksual di perguruan tinggi.


Isi Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 ini dapat mengarahkan pimpinan perguruan tinggi untuk memberikan pemulihan atas hak-hak sivitas akademika yang menjadi korban kekerasan seksual. Tujuannya adalah supaya korban dapat kembali berkarya dan berkontribusi di kampusnya dengan lebih aman dan optimal.


Bagaimana menurut pendapat Anda? Apakah isi Permendikbud No 30 tahun 2021 ini masih rancu dan belum jelas?



























No comments: