Bangkrut, Blacklist dan Deret Ancaman Tumpukan Utang RI
Pemerintahan yang sedang berjalan diramal mewariskan hutang lebih dari Rp10 ribu triliun atau Rp10 kuadriliun di akhir kepemimpinannya. Proyeksi itu berangkat dari posisi hutang yang ditanggung negara saat ini yang mencapai Rp8.670,66 triliun, terdiri dari hutang pemerintah Rp6.527 triliun per akhir April 2020 dan hutang BUMN yang mencapai Rp2.24,37 triliun per kuartal IV 2020.
"Warisan utang Presiden Jokowi kepada presiden berikutnya bisa lebih dari Rp10 ribu triliun," ujar Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini dalam riset resmi. Menanggapi proyeksi tersebut, sejumlah ekonom sepakat bahwa utang Indonesia masuk kategori gawat alias lampu kuning.
Untuk itu, pemerintah perlu sangat berhati-hati dalam pengelolaan utang lantaran risiko tumpukan utang mengintai RI. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian menuturkan skema terburuk dampak tumpukan hutang adalah negara bangkrut apabila pemerintah gagal membayar hutang tersebut.
"Kemungkinan terburuk? Ya tentunya Indonesia bisa bangkrut karena utang ini," ujarnya kepada awak media CNN Indonesia, pada hari Kamis, 24/06/2021.
Serupa dengan kebangkrutan perusahaan, sebuah negara dikatakan bangkrut apabila gagal membayar utangnya. Imbasnya, negara tersebut akan masuk dalam daftar hitam (blacklist) secara global. Tidak ada negara yang bersedia menjadi kreditur kepada negara yang dinyatakan bangkrut tersebut.
"Sama seperti perusahaan atau seperti manusia, kalau tidak bisa bayar cicilan nanti namanya jadi blacklist di sektor keuangan. Kalau besok dia mau cicil motor atau KPR tidak bisa karena sudah di-blacklist. Negara juga begitu, nanti dia akan di-blacklist, di-banned.
Konkretnya paling jelas surat utangnya itu istilahnya akan menjadi junk bond, surat hutang sampah dampaknya orang tidak ada yang mau ngasih pinjaman ke kita," terangnya.
Dalam catatan CNN Indonesia, ada sejumlah negara yang kolaps akibat tumpukan hutang. Sebut saja, Yunani, Argentina, Zimbabwe, Venezuela, dan Ekuador. Menurut Dzulfian, sumber ancaman utang justru berasal dari utang BUMN senilai Rp2.143,37 triliun tersebut.
Pasalnya, banyak perusahaan pelat merah yang kinerja keuangannya terdampak covid-19. Pada satu sisi, perusahaan pelat merah itu mengalami kerugian, di lain pihak mereka harus membayar hutang-hutang jatuh tempo, sehingga mereka mengalami gagal bayar hutang.
Contohnya, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang baru saja menunda pembayaran kupon global sukuk global.
"Kasus Garuda itu puncak gunung es, karena Garuda itu sudah gagal bayar hutang, tapi BUMN-BUMN lain juga seperti itu. Bahkan BUMN karya sebelum itu sudah di-banned oleh lembaga utang lainnya karena kondisi keuangan mereka sangat parah. BUMN-BUMN lain juga seperti itu, utang bengkak sekali dan bukan hanya BUMN, perusahaan swasta nasional juga seperti itu," ujarnya.
Pada akhirnya, apabila banyak BUMN yang mengalami gagal bayar hutang, maka pemerintah harus turun tangan memberikan dana talangan (bailout). Kondisi ini tentunya mengkhawatirkan di tengah APBN yang juga masih terbebani penanganan dampak pandemi covid-19.
Persen Sebagai gambaran, penerimaan negara hanya Rp726 triliun per Mei 2021 sedangkan belanja negara mencapai Rp945 triliun. Akibatnya, terjadi defisit APBN sebesar Rp219 triliun per akhir Mei 2021. Sementara, hutang pemerintah Indonesia sebesar Rp6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021.
Jumlahnya memang turun Rp109,14 triliun dalam sebulan terakhir dari Rp6.527,29 triliun atau 41,18 persen dari PDB pada akhir April 2021. Namun bila dibandingkan dengan Mei 2020, jumlah hutang pemerintah melonjak Rp1.159,58 triliun dari Rp5.258,57 triliun atau 32,09 persen dari PDB.
Dzulfian menuturkan pemerintah selalu membangun narasi utang pemerintah masih dalam batas aman karena masih di bawah rasio, yakni maksimal 60 persen dari PDB. Menurutnya, pernyataan tersebut benar, namun perlu diingat adalah hutang yang lebih membahayakan adalah ancaman hutang dari BUMN maupun swasta karena puncak gunung es tumpukan utang sudah mulai terlihat saat ini.
"Narasi yang coba dibangun pemerintah hutang kita aman tapi mereka hanya batasi analisisnya hutang pemerintah saja, padahal ancaman itu yang lebih bahayakan bukan dari utang pemerintah, tapi dari hutang swasta. Itu yang ditutupi pemerintah tapi yang namanya bangkai akhirnya tercium juga," ucapnya.
Hutang yang dibiarkan menumpuk bisa menjadi bom waktu waktu perekonomian Indonesia.
Hutang Indonesia ke China Melesat 479,45 Persen dalam 10 Tahun
Hutang Indonesia ke China meningkat hampir enam kali lipat selama periode 2011 hingga akhir April 2021. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat total utang luar negeri Indonesia ke China pada 2011 lalu cuma sebesar US$3,7 miliar.
Namun, per April 2021 hutang Indonesia ke China mencapai US$21,44 miliar atau setara dengan Rp310 triliun (asusmsi kurs Rp14.454 per dolar AS). Artinya, dalam kurun waktu sekitar sepuluh tahun, hutang Indonesia ke China naik 479,45 persen.
Per April 2021, hutang Indonesia ke China terdiri dari utang pemerintah sebesar US$1,72 miliar. Sedangkan, mayoritas merupakan hutang swasta yakni US$19,72 miliar. Secara kumulatif, hutang Indonesia kepada China naik 0,65 persen dari Maret 2021 yakni US$21,30 miliar.
Sedangkan secara tahunan, hutang Indonesia ke China naik 4,63 persen dari sebelumnya US$20,49 miliar pada April 2020. Pada 2011, hutang Indonesia ke China masih satu digit yakni US$3,7 miliar. Lalu, hutang Indonesia ke China naik menjadi US$5,06 miliar pada 2012.
Kemudian, hutang Indonesia kembali bertambah namun masih di kisaran satu digit pada 2013 dan 2014. Masing-masing yakni US$6,15 miliar dan US$7,86 miliar.
Pada akhir 2015, utang Indonesia ke China melonjak signifikan 73,79 persen, dari 2014 senilai US$7,86 miliar menjadi US$13,66 miliar pada Desember 2015. Selanjutnya, akhir 2016, utang Indonesia kembali naik menjadi US$15,15 miliar.
Sempat turun menjadi US$14,59 miliar pada akhir 2017, namun kembali bertambah menjadi US$18,11 miliar di akhir 2018. Pada akhir 2019 lalu, utang Indonesia ke China kembali naik menjadi US$19,99 miliar. Memasuki akhir 2020, utang Indonesia ke China tembus angka US$20,65 miliar. Per April 2021, China merupakan negara terbesar keempat penyumbang utang ke Indonesia. Secara total, hutang luar negeri per April 2021 mencapai US$417,95 miliar, setara dengan Rp6.041 triliun.
Mayoritas utang Indonesia berasal dari Singapura sebesar US$68,01 miliar, setara dengan Rp983,01 triliun. Utang Indonesia ke negara tetangga ini naik dari sebelumnya US$67,33 miliar pada Maret 2021. Selanjutnya, utang Indonesia banyak berasal dari AS sebesar US$30,81 miliar pada April 2021. Angka itu berkurang 1,97 persen dari sebelumnya US$31,43 miliar.
Kemudian, Jepang merupakan negara ketiga penyumbang utang terbesar kepada Indonesia mencapai US$28,15 miliar pada April 2021. Jumlah utang Indonesia ke Jepang naik 0,89 persen dari sebelumnya US$27,90 miliar di Maret 2021. Selain itu, Indonesia juga berutang kepada Hong Kong sebanyak US$13,24 miliar turun 1,41 persen dari sebelumnya US$13,43 miliar.
Selain dari negara-negara tersebut, Indonesia juga berhutang kepada Korea Selatan US$6,48 miliar, Australia US$2,33 miliar, Belanda US$5,7 miliar, Inggris US$3,88 miliar, Austria US$497 juta, dan sebagainya. Indonesia juga tercatat memiliki ULN kepada organisasi internasional, totalnya mencapai US$36,11 miliar, setara dengan Rp522 triliun. Detailnya, utang dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) sebesar US$18,01 miliar, Asian Development Bank (ADB) US$11,75 miliar, International Monetary Fund (IMF) US$2,84 miliar, dan Islamic Development Bank (IDB) US$1,29 miliar.
Kemudian, Indonesia juga berhutang kepada International Development Association (IDA) US$782 juta dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) US$200 juta.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mewanti-wanti pemerintah terkait peningkatan utang selama masa pandemi covid-19. Pasalnya, kerentanan utang Indonesia pada 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Moneter Internasional (IMF) dan atau International Debt Relief (IDR).
Hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) 2020 menunjukkan rasio debt service terhadap penerimaan telah mencapai 46,77 persen. "Melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen," tulis BPK dalam ringkasan eksekutif LHP LKPP 2020 yang dikutip media CNN Indonesia, pada hari Rabu, 23/06/20×1.
REI Ramal Penjualan Naik Selain itu rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan telah mencapai 19,06 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 7-10 persen Sementara, rasio hutang Indonesia terhadap penerimaan sudah tembus 369 persen atau jauh di atas rekomendasi IDR sebesar 92-176 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen. Kondisi tersebut membuat BPK khawatir terjadi penurunan kemampuan membayar utang tersebut.
"Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar," tulis BPK.
No comments:
Post a Comment