Empat organisasi profesi guru melakukan evaluasi terhadap kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)) dalam semester pertama 2020. Hasilnya, Mendikbud Nadiem Makarim mendapatkan nilai C, D, dan E.
Artinya Nadiem dinilai gagal melaksanakan program kerjanya yang bertajuk Merdeka Belajar?
"Merdeka Belajar sama dengan Indonesia terserah. Yang penting sudah diluncurkan programnya, mau terlaksana atau tidak terserah. Ya seperti yang lagi tren sekarang Indonesia terserah,” kata Ketum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim dalam diskusi daring dengan tema Evaluasi Kebijakan Pendidikan Nasional sebagai Bagian dari Desain Cetak Biru Pendidikan Indonesia besutan Vox Populi Institute Indonesia, hari Rabu, 20 Mei 2020.
Ramli mengungkapkan, guru-guru IGI memberikan nilai C kepada Mendikbud Nadiem karena selama enam bulan bekerja tidak ada gebrakan yang bisa membantu meningkatkan mutu pendidikan.
Merdeka Belajar hanya diluncurkan tanpa dijabarkan seperti apa sehingga di tingkat bawah terjadi salah persepsi tentang program tersebut.
“Komunikasi, kolaborasi, critical thinking, kreativitas dan inovasi Mendikbud serta jajarannya nilainya C, D, dan E. Program pusat susah diimplementasikan daerah karena tidak ada komunikasi dan kolaborasi yang baik. Semuanya terserah saja,” ujar Ramli.
Hal senada diungkapkan Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim.
Dia menilai, Merdeka Belajar hanya jadi jargon Mendikbud Nadiem. Faktanya di lapangan, sulit dijalankan.
Dia mencontohkan, RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) satu lembar yang dari sebelumnya berpuluh-puluh lembar.
Guru-guru bingung menerjemahkan makna satu lembar. Alhasil mereka menuliskan dengan menyingkat kata.
“Tulisan yang disingkat yg. Dapat jadi dpt, yang bersangkutan jadi ybs. Hal inilah yang membuat guru bingung sementara dari Kemendikbud tidak dijelaskan detail. Alasannya enggak mau mendikte biar merdeka,” ucapnya.
Ketua Forum Guru Muhammadiyah, H Pahri juga berpendapat sama. Merdeka Belajar dinila sebagai pencitraan Mendikbud Nadiem.
Seolah-olah ingin memberikan kebebasan kepada guru dan kepala sekolah mengatur sekolah tetapi malah bikin bingung.
“Empat program Merdeka Belajar belum ada yang dilaksanakan. Guru dan Kepsek diminta kreatif serta inovasi. Mendikbud dan jajarannya malah dari hasil evaluasi kami enggak kreatif dan inovatif, komunikasi buruk dan tidak ada kolaborasi dengan daerah,” tegasnya.
Aris Adi Leksono selaku Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama malah memberikan nilai D dan E untuk komunikasi, kolaborasi, critical thinking, kreativitas dan inovasi Mendikbud serta jajarannya.
“Enam bulan ini Mendikbud Nadiem bekerja, kami sulit berkomunikasi dengan menteri. Demikian juga stafsus maupun dirjennya. Padahal kami ini bukan organisasi abal-abal. Surat kami tidak direspons padahal kami ingin mendapatkan informasi jelas mengenai Merdeka Belajar,” terangnya.
Sementara Indra Charismiadji dari Vox Point Indonesia memberikan nilai D untuk komunikasi dan kolaborasi karena memang hampir tidak komunikasi ke publik tentang program-program Kemedikbud secara jelas.
Kolaborasi dengan pihak pemda juga tidak ada karena tidak ada komunikasi tadi.
“Padahal pendidikan itu diotonomikan. Jika tidak ada kolaborasi pasti kacau dan jalan sendiri-sendiri,” ujarnya.
Untuk kreatif Indra memberikan nilai C karena tidak ada ide-ide baru yang fresh. Semuanya biasa dan sudah pernah dibahas.
Nilai C+ untuk berpikir kritis karena berani mengganti UN dan adanya program Kampus Merdeka yang cukup baik.
Sayangnya target literasi, numerasi, dan sains jauh dari rata-rata OECD.
“Intinya butuh banyak perbaikan Mendikbud Nadiem bersama jajarannya. Sebab, Kemendikbud yang bertugas mengawal ketrampilan abad 21 ternyata belum mampu menerapkannya. Seperti rekomendasi teman-teman dari organisasi profesi guru, Mendikbud harus remedial karena nilainya di bawah standar,” tandas Indra.
No comments:
Post a Comment