Tuesday 28 September 2021

Sekolah PTM sudah berjalan berhadapan dengan dampak teror

Sekolah PTM sudah berjalan berhadapan dengan dampak teror

Sekolah PTM sudah berjalan berhadapan dengan dampak teror


Siswa kembali ke sekolah kehadiran reguler, di tengah penyebaran penyakit coronavirus (COVID-19) di Berlin, Jerman, 9 Agustus 2021. REUTERS/Axel Schmidt







Sejak awal pandemi mulai dari WHO sampai ke setiap negara memaksa orang untuk diam di rumah, menghentikan di semua aktivitas termasuk pendidikan. Satu generasi telah kehilangan satu tahun setengah proses belajar formal secara normal. Mereka dipaksa untuk belajar online. Semua atas nama penyelamatan, menghentikan penyebaran virus.






Kemudian program vaksinasi berjalan, ini tentunya melegakan WHO yang telah gagal dalam program vaksinasi yang telah dicanangkan tahun 2011 - 2020. Tahun 2021 seperti membayar hutang kegagalan, mobilisasi teror bahaya virus telah membuat hampir sebagian besar populasi menyerah dan mau divaksinasi dari vaksin yang belum teruji, hanya baru teruji secara medis.


Selanjutnya, WHO di bawah PBB dengan hasil pencapaian vaksinasi yang telah berjalan,sudah mulai antara percaya diri dan kekhawatiran. Percaya diri progres vaksinasi berjalan, dan kehawatiran dampak dari sistim pembelajaran online. Dan akhirnya, melalui UNICEF, mencanangkan kembali ke Sekolah.


Semua negara merespon termasuk Indonesia, hingga dibuat iklan hanya untuk mendorong berani ke sekolah. Jadi kembali ke Sekolah tidak benar - benar berdasarkan data kajian keamanan dan keselamatan, tapi tertular dari UNICEF.


Sudah satu bulan anak - anak kembali ke Sekolah di semua negara. Ke sekolah dengan tantangan melawan delta. Hasil tinjauan pengamat pendidikan di tiap negara, ternyata tidak sepenuhnya ini direspon positif oleh para orang tua. Sehingga menimbulkan kekhawatiran kembali para tokoh pendidikan dan ilmuwan di seluruh dunia.


Kesemua ini akibat dari perintah satu arah dari mulai pandemi, vaksinasi dan kembali ke Sekolah, yaitu WHO dan PBB. Mereka yang membangun teror dan mereka yang akan menuai itu. Teror bahaya virus corona hingga varian virus.


Tahun 2012 hasil kesimpulan lancet virus corona tidak berbahaya bagi anak - anak dan remaja. Namun kemudian, sejak pandemi dibuat issue oleh WHO dan negara Barat yang digawangi oleh CDC, virus ini berbahaya bagi anak - anak. Issue ini berhasil membangun teror ketakutan disebagian besar para orang tua.


Dan hasil pengamatan kami, sejak awal pandemi hingga September 2020, gejala virus corona tidak sama dengan awal Desember 2020 hingga sekarang. Ini ada dua hal penyebabnya.


Tes Antigen mulai disiapkan bulan November 2020. Dimana Rapid Tes Antigen dibuat CDC tahun 2015, alat ini untuk tes influenza A dan B. Indonesia mulai import Desember 2020, lalu alat ini diformalkan. Kami sudah yakin, alat ini akan menjadi teror baru. Karena akan banyak positif covid dalam arti positif covid palsu. Pada bulan itu pun kami telah mencurigai dibalik ini untuk suksesi vaksinasi.


Berbagai cara manipulatif WHO dan Barat dilakukan agar semua orang percaya vaksin satu - satunya cara keluar dari pandemi. Mulai munculnya istilah 'negara miskin', 'negara tidak mau berbagi vaksin', 'dropping vaksin ke negara miskin'. Kesan ini akan ditangkap, bahwa mereka itu memiliki empati tinggi, sikap tenggang rasa dan lain sebagainya tentang kebaikan. Dimana ini mendorong orang percaya. Harus diingat 'tidak ada makan siang yang gratis'.





Disini kami tidak akan membahas bagaimana semua media dan info di internet telah di mobilisasi barat, semua virus dan vaksin harus bersudut barat dalam hal ini Anthony Fauci dan Bill Gates yang di gawangi Tedros. Kami hanya ingin membahas perjalanan dunia pendidikan.


Ketika sekolah dibuka, berbakal Tes Antigen, lalu di Skotlandia, sekolah dibuka kembali pada pertengahan Agustus, dan hasil tes positif melonjak hingga mencapai rekor pada akhir bulan.


Inggris telah melihat beberapa peningkatan kasus di sekolah-sekolah yang dibuka lebih awal, tetapi belum menyebar ke populasi yang lebih luas, kata Neil Ferguson, ahli epidemiologi di Imperial College London.


Di Norwegia, kasus melonjak ke rekor harian 1.785 setelah dua minggu pertama sekolah, sebelum turun 60% pada minggu lalu.


Swedia, di mana sebagian besar sekolah tetap buka selama pandemi, mengalami peningkatan awal infeksi COVID-19 di antara anak-anak setelah liburan musim panas, tetapi kasusnya sekarang berada pada tingkat yang rendah - baik di antara anak-anak dan populasi yang lebih luas.


Tetapi di Skandinavia, Skotlandia, Jerman, Prancis, Korea Selatan, dan Amerika Serikat, kasusnya menurun, meskipun ada kekhawatiran varian Delta yang lebih menular akan meningkatkan infeksi.


“Sekolah hanya mencerminkan apa yang terjadi di masyarakat sekitar dan, dalam banyak kasus, Anda memiliki lebih sedikit penularan daripada di masyarakat sekitar karena langkah-langkah mitigasi yang ada,” kata Dr. Sean O'Leary, seorang profesor pediatri di University of Colorado.


Dan semua dokter di tiap negara hampir sama pendapatnya seperti yang disampaikan Dr. Sean, artinya para dokter tidak menguasai betul apa dan bagaimana covid19 WHO, karena yang disampaikannya adalah kekhawatiran yang akan terjadi dan langkah dari perujudan kekhawatiran tersebut. Arti secara tajam mereka tidak tahu bagaimana menaklukkan covid 19 WHO.


Lebih jauh dari ketidaktahuan cara menaklukan covid 19 WHO adalah penerapan Protokol Kesehatan.


Seperti hasil data di Kentucky AS, menfataka bahwa kasus per 100.000 orang di Kentucky turun tetapi masih termasuk yang tertinggi di negara ini dan lebih dari 50% populasinya divaksinasi sepenuhnya. Distrik sekolah negara bagian sudah berjuang dengan kekurangan staf sebelum kasus COVID-19 dan karantina, kata Shoulta. Legislatif negara bagian tersebut bertemu dalam sesi khusus minggu lalu, di mana anggota parlemen memberi pejabat sekolah lokal lebih banyak otonomi untuk menerapkan protokol COVID-19.

No comments: