Sistim zonasi pada PPDB adalah tepat dan baik. Karena ini telah menampung UUD 1945, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu : “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Kemudian muncul berbagai polemik akibat pergeseran yang sudah sekian lama dimana ranah pendidikan telah menjadi ranah bisnis.
Bermunculan sekolah - sekolah favorit ini sebelas dua belas yang secara tidak langsung menjadi lahan bisnis dan persaingan bisnis. Karena dalam PPDB, sekolah - sekolah tersebut kemudian memberi persyaratan nilai optimum pada beberapa mata pelajaran. Dan kemudian bisa menjadi celah transaksional.
Munculnya sekolah - sekolah favorit ini secara tidak langsung akibat okeh karena tidak adanya pelatihan guru secara seragam. Sehingga Sekolah yang kurang favorit dan tidak favorit tidak bisa bersaing dengan sekolah favorit.
Pengkelasan sekolah unggulan dan bukan unggulan telah menjadi potret sebagai simbol watak dalam kehidupan strata sosial, orang yang banyak duit ogah anaknya di sekolahkan di sekolah yang bukan unggulan.
Baca juga: Orang Tua Bingung dengan Sistem PPDB, Disdik Serahkan ke Sekolah.
Baca juga: PPDB 2020/2021 Dilakukan Dua Tahap dilakukan secara Daring.
Kerusakan ini kemudian menjadi mental yang membudi daya. Dan menjadi satu penyakit kronis. Kenapa?
Sebagian orang ada yang menangis karena gagal masuk sekolah unggulan karena masalah prestasi dan zonasi. Artinya mereka para orang tua yang tentunya memperjuangkan dengan cara apa pun agar anaknya mendapatkan yang terbaik dalam kehidupan dan pendidikannnya, sekolah unggulan menjadi pertimbangannya. Yang otomatis sekolah yang kurang favorit sepi peminat karena dianggap tidak dapat memenuhi harapan para orang tua.
Sementara melihat kondisi ini, mendikbud lebih menitik berat membicarakan masalah dana bos, masalah ujian nasional. Tidak segera memperbaiki sistim yang ada di koridor pendidikan.
Jadi zonasi itu tepat dan bagus. Dan menjadi tidak tepat karena sistimnya belum diperbaiki, zonasi susah diberlakukan.
No comments:
Post a Comment